
SATU Hati Satu Visi menjadi tema utama halal bihalal keluarga besar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah digelar di Gedung Pers, Jalan Tri Lomba Juang No 10, Mugassari, Semarang, Kamis (24/4).
KH Ahmad Hadlor Ihsan mengisi tausiyah halal bihalal Satu Hati, Satu Visi ini.
Hadir dalam kesempatan itu, Kabid Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo Jateng Moch Faizin, anggota pembina Yayasan Alumini Undip (pengelola USM) Ir Soeharsojo IPU.
Kemudian Wakil Ketua Komisi Informasi Provinsi Setiadi, mantan Ketua PWI Jateng Soetjipto SH, dan Ketua PWI Surakarta Anas Syahirul Alim.
Hadir juga pimpinan media, mantan wartawan, pengurus Dewan Kehormatan Provinsi PWI, Ketua PWI Amir Machmud NS dan Sekretaris Setiawan Hendra Kelana bersama jajaran dan ibu-ibu anggota IKWI.
Ketua PWI Amir Machmud menyampaikan tema ”Satu Hati, Satu Visi” bertujuan bahwa PWI bertekad menjadikan hati sebagai ukuran dalam membangun interaksi, komunikasi, bukan hanya antarpengurus, tapi juga dengan mitra kerja.
”Dengan berbagai instansi, kami berusaha menjembatani kepentingan PWI dan wartawan untuk sama-sama memahami apa yang menjadi tujuan,” kata Amir Machmud.
Terutama dalam lima tahun terakhir, PWI diupayakan sebagai bagian dari para intelektual, sehingga PWI bisa berinteraksi dengan dunia kampus.
“Maka dalam empat tahun ini kami sudah menjalin kemitraan lewat dialog para rektor di perguruan tinggi swasta. Semoga ini bisa menjadi tradisi kepengurusan PWI di masa mendatang,” bebernya.
Satu Hati Satu Visi dan peran media sejak zaman nabi
Sementara itu, dalam tausiahnya KH Ahmad Hadlor Ihsan menjelaskan bahwa sesungguhnya wartawan memiliki peran yang mulia dan luar biasa di zaman Rasullullah Muhammad SAW.
”Jadi kita tahu perintah Allah. Dari mana kita tahu Rasul begini dan begitu kalau tidak ada yang mewartakan.,” ujarnya.
“Ada pewarta yang mengabarkan, seperti sahabat Nabi yaitu Abu Hurairah. Beliau tahu gerak gerik Nabi, termasuk apa saja sabdanya,” lanjut pengasuh Ponpes Al-Ishlah Mangkang Kulon itu.
Dalam kesempatan itu, Kiai Hadlor juga mengisahkan bagaimana jalur informasi Nabi tersampaikan mulai dari Abu Hairah, Abu A’la Al hingga Imam Muslim yang bertahan beribu tahun.
Semua itu karena ada media. Selain itu, dia juga mengajak hadirin untuk menjadi manusia yang sehat pasca-Ramadan, karena sesuai hadist bahwa berpuasalah maka kamu akan sehat.
Kiai Hadlor selanjutnya mengumpamakan sehat itu seperti mobil yang baru keluar dari bengkel.
‘’Mobil yang sehat itu ada tandanya. Yaitu semua komponennya berfungsi dengan baik, klakson, rem, riting. Untuk membuktikan mobil itu bagus,” terangnya.
Artinya mampu nggugu karo sing nduwe (patuh sama yang punya). “Kalau mobil nggugu karepe dewe, sing susah wong liya (jika mobil berjalan semau gue, maka yang susah orang lain),’’ jelasnya.
Ciri manusia sehat itu, juga ada keseimbangan antara jiwa dan raga. Ibaratnya keseimbangan itu seperti penunggang kuda mau ke pasar. Penunggangnya adalah jiwanya, sedangkan kuda adalah raganya.
Pada momen ini, Kiai Hadlor bertanya kehadirin: jika kudanya buta, sedangkan penunggangnya tidak, apakah keduanya akan sampai ke tujuan? Hadirin pun kompak menjawab bisa.
Sebaliknya, kalau penunggangnya buta, sedangkan kudanya tidak, apakah sampai tujuan? Hadirin pun langsung mengatakan tidak.
‘’Itu seperti jiwa kita. Jiwa yang buta, akan lebih membahayakan. Makanya jiwa harus sehat setelah kita melewati bulan puasa,’’ tandasnya.(Htm/S-01).