BADAN Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menegaskan bahwa gempa megathrust tinggal menunggu waktu seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat atau segera.
Sebetulnya pernyataan itu sebagai bentuk peringatan dini bukan akan terjadi dalam waktu dekat.
Hal itu disampaikan oleh Kepala BMKG Bandung, Teguh Rahayu meneruskan pernyataan dari epala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, Kamis (15/8).
Pembahasan kembali potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut tidak ada kaitannya dengan gempa M7,1 di Tunjaman Nankai, dan mengguncang Prefektur Miyazaki Jepang.
Gempa memicu tsunami kecil pada 8 Agustus 2024 mampu menciptakan kekhawatiran bagi para ilmuwan, pejabat negara dan publik di Jepang.
Mereka khawatir akan potensi terjadinya gempa dahsyat di Megathrust Nankai.
“Peristiwa semacam ini, menjadi momen yang tepat untuk mengingatkan kita di Indonesia, akan potensi gempa di zona seismic gap Selat Sunda dan Mentawai-Siberut,” ujarnya.
Sejarah Gempa Megathrust
Sejarah mencatat bahwa gempa besar terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 (usia seismic gap 78 tahun).
Sedangkan gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 (usia seismic gap 267 tahun). Dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 (usia seismic gap 227 tahun).
Artinya, kedua seismic gap itu periodisitasnya jauh lebih lama jika dibandingkan dengan seismic gap Nankai.
“Sehingga mestinya kita jauh lebih serius dalam menyiapkan upaya-upaya mitigasinya,” tegasnya.
Dikatakan “tinggal menunggu waktu” disebabkan segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah rilis gempa besar.
Sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi
“Sudah dipahami bersama bahwa hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat, mampu memprediksi terjadinya gempa,” kata Daryono
Daryono menambahkan masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan beraktivitas normal seperti biasa, seperti melaut, berdagang dan berwisata di pantai. (Rava/S-01)