
WAHANA Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melaporkan 47 korporasi yang dinilai telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan di 17 provinsi hingga menyebabkan kerugian negara yang mencapai Rp437 triliun.
Saat menanggapi hal itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Prof. Priyono Suryanto menilai angka kerugian sebesar Rp437 triliun yang dinyatakan Walhi masih lebih kecil dari dampak sesungguhnya.
“Ini bukan hanya perkara uang, tetapi juga terkait warisan lingkungan untuk generasi mendatang,” katanya, Minggu (16/3).
Sebagai solusi jangka panjang, ia menekankan perlunya transformasi fundamental dalam tata kelola lingkungan di Indonesia. Apabila sebelumnya membangun dengan cara yang merusak, kini memasuki era baru, yakni membangun sekaligus melestarikan yang harus menjadi prinsip dasar dalam mengelola hutan, perkebunan, dan pertambangan.
“Jika pola eksploitatif ini terus dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan sumber daya, tetapi juga akan meninggalkan bencana ekologis bagi anak-cucu kita,” ungkapnya.
Ubah paradigma
Menurut dia laporan tersebut bukan sekadar tuntutan hukum, tetapi juga momentum bagi bangsa untuk mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam. Pada awalnya sumber daya alam seperti hutan, perkebunan, dan pertambangan dikelola untuk menopang pembangunan nasional.
Setelah Indonesia merdeka, hutan dianggap sebagai aset negara yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Misi awal eksploitasi sumber daya alam ini jelasnya pada dasarnya berhasil, terbukti dengan pembangunan yang terus berkembang. Namun, keberhasilan ini datang dengan harga mahal, yakni eksploitasi besar-besaran yang berdampak pada kerusakan lingkungan.
“Prinsip yang digunakan seharusnya eksploitasi untuk pembangunan. Hasilnya, kita memang mendapatkan kemajuan ekonomi, tapi sekaligus merusak lingkungan. Sekarang, dampaknya mulai terasa jelas, dan kita menghadapi konsekuensi ekologis yang serius,” kata Prof. Priyono.
Proses perijinan
Salah satu permasalahan utama dalam tata kelola lingkungan di Indonesia adalah proses perizinan yang sering kali disalahgunakan. Dikatakan proses perizinan lingkungan sudah menjadi bisnis tersendiri.
“Meski secara administratif tidak ada yang dilanggar, pada prakteknya terjadi banyak penyimpangan karena banyak rekayasa-rekayasa yang dilakukan. Akibatnya, izin diberikan tanpa memastikan adanya jaminan kelestarian lingkungan,” tegasnya.
Prof. Priyono menjelaskan permasalahan ini tidak dapat dipandang secara parsial, tetapi harus total. Langkah konkret yang menurutnya harus dilakukan ke depan adalah memastikan dengan tegas perusahaan-perusahaan yang telah melakukan eksploitasi bertanggung jawab atas pemulihan lingkungan.
“Dalam regulasi sudah jelas, ada kewajiban untuk mengembalikan lahan yang dieksploitasi ke kondisi semula. Misalnya, setelah menambang, harus ada reklamasi yang benar-benar diawasi agar hutan bisa kembali pulih. Begitu juga di sektor kehutanan, eksploitasi kayu harus dibarengi dengan upaya menjaga ekosistemnya,” jelasnya.
Gandeng universitas
Jika pola eksploitatif ini terus dibiarkan, ujarnya, kita tidak hanya kehilangan sumber daya, tetapi juga akan meninggalkan bencana ekologis bagi anak-cucu kita.
Ia mengusulkan agar kementerian terkait mengintensifkan kolaborasi dengan universitas dan lembaga riset seperti BRIN agar solidaritas atas kelestarian pembangunan sumber daya alam Indonesia dapat terbangun secara berkelanjutan.
“Puncaknya adalah Indonesia bisa menjadi barometer dunia untuk mitigasi reforestasi dan rehabilitasi. Harapannya, negara tidak akan menuju pada narasi Indonesia gelap, tetapi Indonesia terang jika negara mau berbenah,” harapnya. (AGT/N-01)