IRAN mengancam akan membalas serangan Israel ke konsulatnya di Damaskus, Suriah yang menewaskan sejumlah pejabat militernya. Persiapan untuk merealisaikan ancaman
untuk melancarkan serangan itu pun sudah dilakukan.
Barisan rudal Iran dilaporkan sudah bergerak ke Suriah yang merupakan salah satu negara sekutu dari Iran dan terletak bersebelahan dengan Israel.
Pimpinan tertinggi dan Presiden Iran sebelumnya memang menyatakan akan membalas serangan yang dilakukan oleh Israel pada Senin (1/4) lalu. Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei bahkan seperti dikutip dari kantor berita Iran menyatakan bahwa entitas Zionis yang jahat akan menerima hukumannya di tangan orang-orang pemberani seperti Iran.
“Kami akan membuat Zionis menyesali kejahatan penyerangan terhadap konsulat Iran di Damaskus dan konsulat serupa lainnya,” tegasnya.
Rencana Iran itu pun sudah mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak. Beberapa di antaranya dari Arab Sudi dan Hamas.
Pihak Arab Saudi mengatakan bahwa mereka menangguhkan hubungan diplomatik dengan Israel. Adapun Hamas melalui Abu Ubaidah menyampaikan terika kasih atas dukungan Iran selama ini.
Meski begitu salah seorang pejabat Iran mengingatkan Teheran agar tidak jatuh dalam perangkap perang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Merasa superioritas
Di sisi lain, ancaman serangan yang akan dilakukan Iran ternyata tidak menciutkan nyali Benjamin Netanyahu. Ia bahkan menantang Iran akan menyiapkan neraka.
“Selama bertahun-tahun, Iran telah melakukan perlawanan pada kami baik secara langsung maupun melalui proksinya. Oleh karena itu, Israel bertindak melawan Iran dan proksinya, secara defensif dan ofensif,” kata Netanyahu.
Ironisnya kendati pemerintah Netanyahu sesumbar tidak gentar dengan ancaman Iran itu, faktanya toh sebanyak 28 kedutaan Israel di seluruh dunia ditutup. Para diplomat yang bertugas di luar negeri khawatir akan menjadi sasaran pembalasan Iran dan proksinya.
Bahkan warga Israel pun dikabarkan mulai panik. Mereka mulai menimbun berbagai kebutuhan pangan dan termasuk genset. Sebagian warga juga mengecam kebijakan pemerintah yang menyeret mereka dalam perang.
Meski paling superior di Timur Tengah, sejatinya Israel memang gentar juga dengan ancaman Iran tersebut. Pasalnya mereka harus menghadapi front perang yang banyak. Mereka juga harus menghadapi serangan Hamas, Hezbulloh, ataupun Houthi.
Ditambah lagi sekutu sekaligus pelindung utama mereka Amerika Serikat seperti tidak terlalu antusias mendukungnya. Memang negara Zionis itu masih punya Inggris dan Prancis yang mendukungnya. Namun melihat kecaman dari seluruh dunia, kedua negara itu sepertinya tidak akan total mendukung.
Pemilu AS
Saat menyikapi situasi terkini, Amerika Serikat memang seperti buang badan. Meski dalan sidang PBB, AS masih menyatakan keberpihakannya pada Israel, namun kali ini terkesan cuci tangan.
Negara Paman Sam juga enggan dikaitkan dengan serangan Israel di Damaskus. Karena itu AS tak ingin fasilitas mereka menjadi target serangan Iran.
Para pejabat AS bahkan menegaskan bahwa negaranya tidak memiliki informasi tentang rencana serangan Israel di Suriah. Presiden Joe Biden khawatir serangan Israel itu bisa menyebabkan peningkatan konflik di wilayah tersebut dan memicu serangan Iran terhadap pasukan AS.
Keengganan AS terlibat penuh dalam konflik amat mungkin karena mereka akan menggelar Pemilu dalam waktu dekat. Biden sudah pasti tidak mau kehilangan pendukungnya yang menolak perak Israel dan Palestina. Itu sebabnya Biden berjuang mati-matian agar dukungannya ke Israel tidak terlalu mencolok.
Ukraina sendirian
Namun akibat ulah Israel itu juga berimbas pada Ukraina. Sebab AS sudah pasti akan lebih mencurahkan perhatiannya pada Israel.
Akibatnya Ukraina harus bertempur sendiri menghadapi Rusia dengan peralatan tempur tersisa.
Seorang veteran AS yang bertempur di Ukraina bahkan menilai kekurangan amunisi yang kian parah sejak bantuan AS terhenti, memberi keuntungan besar bagi Rusia.
“Rusia mampu menembakkan artileri secara massal langsung ke infanteri dan kendaraan lapis baja kita,” cetusnya.
Senada, seorang perwira Ukraina menyalahkan kelambanan Kongres sebagai penyebabnya. Anggota DPR dari Partai Republik menunda bantuan lebih lanjut senilai US$ 60 miliar (Rp 953,3 triliun) ke Ukraina. Akibatnya mereka hanya tinggal menunggu bunyi lonceng kekalahan. (Editor/Pengamat Rusia)