Cinta dan Kerakusan dalam Film Bisu Samsara Karya Garin

FILM bisu  Samsara karya Garin Nugroho diputar pertama kali di acara Indonesia Bertutur Nusa Dua Bali. Film ini juga pertama kali diputar di Indonesia.

Mengambil latar belakang Bali tahun 1930. Sebab di tahun 1930-an, merupakan awal mula para ilmuwan datang ke Bali. Pada tahun itu merupakan awal mula pertumbuhan pariwisata Bali.

Sutradara film Samsara Garin Nugroho mengatakan, pesannya utama dari Samsara adalah cinta dan kerakusan.

“Cinta dan kerakusan selalu menjadi dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan,” kata Garin Nugroho   di Nusa Dua, Sabtu (17/8).

Menurutnya apa pun peran kehidupan yang dijalankan manusia selalu dihadapkan pada dua realitas tersebut.

BACA JUGA  Jaga Kebudayaan dan Keragaman Hayati untuk Keberlanjutan

Garin mengatakan pemimpin yang sangat mencintai rakyatnya atau yang sangat dicintai rakyatnya toh ada kerakusan di dalamnya. “Rasa cinta juga bisa dibelokan menjadi kerakusan,” kata Garin.

Samsara adalah Magic Realism

Tema utama Film Samsara adalah magic Realism.  Tema ini sangat penting di Indonesia khususnya di Bali.

“Presiden saja ada magic-magic juga. Apa pun ada unsur magis. Jadi magic realism dalam Film Samsara itu realita dan juga hal yang biasa dilakukan di Bali,” ujar Dirjen Perfilman, Musik dan Media Kemendikbud Ahmad Mahendra yang hadir di peluncuran film bisu Samara.

Samsara adalah film bisu dengan live musik gabungan dari musik Bali, Orkestra dan musik elektronik.

BACA JUGA  Jaga Kebudayaan dan Keragaman Hayati untuk Keberlanjutan

Film ini layak diputar perdana di Indonesia Bertutur karena kaya akan pesan dan makna dalam kehidupan sehari-hari.

Indonesia Bertutur harus menjadi wadah pelestari budaya, adat dan tradisi yang sudah ada sejak dahulu.

Ada 6 lokasi yang dipakai mulai dari yang mistis seperti Gunung Batukaru, Gunung Batur, Istana Tampaksiring, Desa Tenganan dan sebagainya.

Menurut Garin Nugroho, Bali di tahun 1930 masih menjadi daerah dengan sejuta pengalaman mistis. Lahir dari adat dan kebudayaan dan tetap terpelihara sampai sekarang.

Banyak tokoh datang ke Bali saat itu beberapa di antaranya Charlie Chaplin, Walter Smith, dan beberapa ilmuwan lainnya.

Dalam mistik, memang ada terlihat dan tidak terlihat. Dan dua-duanya diterima masyarakat.

BACA JUGA  Jaga Kebudayaan dan Keragaman Hayati untuk Keberlanjutan

“Hidup ini yang kelihatan dan tidak dilihat itu ada dan dihidupi masyarakat. Dan itulah Bali yang sesungguhnya,” pungkasnya. (Aci/S-01)

Siswantini Suryandari

Related Posts

Kapolri Apresiasi Upaya TNI-Polri Bebaskan Pilot Susi Air

KAPOLRI Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengapresiasi pembebasan pilot Susi Air, Kapten Philip Mark Mehrtens, dari kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua. Kapolri menyebut, misi pembebasan berhasil berkat kerja keras tim TNI-Polri…

713 Titik Panas Karhutla Kembali Terpantau di Sumatra

RATUSAN titik panas atau hotspot kembali di Pulau Sumatra. Dari pantauan terakhir satelit, Sabtu (21/9), terdeteksi sebanyak 713 titik panas dengan jumlah terbanyak berada di Sumatra Selatan sebanyak 291 titik.…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jangan Lewatkan

Kapolri Apresiasi Upaya TNI-Polri Bebaskan Pilot Susi Air

  • September 21, 2024
Kapolri Apresiasi Upaya TNI-Polri Bebaskan Pilot Susi Air

PB IDI Imbau Masyarakat Selalu Waspada Potensi Bencana

  • September 21, 2024
PB IDI Imbau Masyarakat Selalu Waspada Potensi Bencana

KPU Pekanbaru Tetapkan DPT Pilkada 2024

  • September 21, 2024
KPU Pekanbaru Tetapkan DPT Pilkada 2024

Gagal Tembus 10 Besar di PON, Ketum KONI Riau Minta Maaf

  • September 21, 2024
Gagal Tembus 10 Besar di PON, Ketum KONI Riau Minta Maaf

713 Titik Panas Karhutla Kembali Terpantau di Sumatra

  • September 21, 2024
713 Titik Panas Karhutla Kembali Terpantau di Sumatra

All Indonesian Final Terjadi di Ganda Campuran

  • September 21, 2024
All Indonesian Final Terjadi di Ganda Campuran