SEJAK 1 Maret 2024, pasien dengan kanker payudara stadium dini untuk jenis tertentu seharusnya bisa mengakses trastuzumab melalui program JKN.
Namun masih sebatas harapan karena sampai sekarang akses pengobatan target untuk kanker payudara stadium dini belum bisa dilaksanakan.
Padahal pemerintah melalui Permenkes No 22 Tahun 2018 tentang juknis trastuzumab disebutkan bahwa kanker payudara stadium dini diberikan bersama dengan kemoterapi sebagai terapi adjuvan.
Pemberian trastuzumab untuk kanker payudara dini dengan Jenis HER2 IHK posutif 3 (+++) atau HER2 positif 2 (++) dengan konfirmasi FISH atau CIHS positif.
Hal itu terungkap dalam Seminar HIFDI dengan tema “Akses Pengobatan Kanker di JKN: Menciptakan Birokrasi yang Berpihak pada Pemenuhan Hak Pasien” yang digelar Jumat (16/8).
HIFDI adalah Himpunan Fasyankes Dokter Indonesia. Mereka melihat fakta di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), untuk pasien kanker.
Ketua HIFDI, Dr. Zaenal Abidin menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak untuk memperbaiki akses dan kualitas pengobatan kanker.
Menurutnya kanker adalah penyakit katastropik yang sangat membutuhkan campur tangan Pemerintah. Kanker tidak hanya mengancam nyawa pasien, tetapi juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi. Akibat beban pembiayaan pengobatan.
Aryanthi Baramuli Putri, pendiri dan ketua Cancer Information and Support Center (CISC) mengapresiasi Pemerintah terus berupaya meningkatkan akses pengobatan kanker.
Ia menekankan bahwa kasus kanker terbanyak adalah kanker payudara.
“Kami sangat berharap agar Pemerintah segera memberikan solusi seperti trastuzumab,” ujar Aryanthi.
Saat peraturan Menteri Kesehatan dikeluarkan yang menyatakan trastuzumab dijamin untuk kanker payudara stadium dini, pasien menaruh harapan besar untuk bisa mendapatkan obatnya. Sayangnya, kendala birokrasi mengaburkan harapan pasien.
“Sayangnya, hingga saat ini hak mereka belum bisa diwujudkan; obat masih belum bisa diakses,” ungkapnya.
Obat Kanker Masuk Jaminan BPJS
Pada kesempatan sama Dr. Djumhana mengusulkan agar obat-obat terbaik dari Amerika atau Eropa segera tersedia di Indonesia untuk mencegah pasien mencari pengobatan di Singapore.
Ia menjelaskan pentingnya memasukkan obat-obat tersebut ke dalam sistem jaminan kesehatan nasional agar menjadi cost-effective. Dan tercantum dalam e-catalog BPJS Kesehatan.
Proses ini melibatkan perhitungan cost-effectiveness yang harus di bawah ambang batas yang ditentukan oleh Formularium Nasional (Fornas) Kemenkes.
Djumhana mengajak untuk melakukan studi dampak anggaran di Indonesia guna memastikan harga obat dapat ditekan dan memenuhi standar cost-effectiveness.
Ia menegaskan bahwa obat untuk kanker payudara stadium awal hanya akan diterima jika diberikan dengan benar dan didasarkan pada penilaian multidisiplin.
Termasuk oleh radiolog yang melakukan CT Scan dan pemeriksaan lainnya untuk menentukan stadium penyakit.
BJPS Kesehatan Siap Cari Solusi
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti MSc mengapresiasi HIFDI yang memberikan wawasan langsung mengenai masalah di lapangan dihadapi dokter dan tenaga medis kanker.
“BPJS sangat berkomitmen untuk mendengarkan dan mencari solusi, meskipun tantangan utamanya terkait kebijakan dan bukti ilmiah,” kata Ali Ghufron
Dalam pertemuan tersebut, ia menyampaikan hasil dari meta-analisis koheren dan menerima saran dari Dr. Djumhana untuk mengadakan pertemuan lanjutan guna mencari solusi.
Menurutnya BPJS menunjukkan kepedulian mendalam terhadap kesehatan masyarakat Indonesia.
“Menekankan pentingnya gotong-royong dalam menjaga kesehatan dan kesadaran bahwa kesehatan memerlukan biaya,” tambahnya. (*/S-01)