
TBC di Indonesia masih menjadi permasalahan kesehatan, bahkan secara global. Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan beban kasus TBC tertinggi di dunia.
“Selain kasusnya yang tinggi, di Indonesia masih terjadi gap diagnosis,” ungkap Principal Investigator Project KONEKSI dr. Antonia Morita I. Saktiawati, Senin (24/3).
Hal itu disampaikan dalam peringatan Hari TBC Sedunia yang diperingati setiap 24 Maret.
Dari estimasi sekitar 1.060.000 kasus TBC, baru 81 persen yang terdiagnosa. Sementara target yang dibebankan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah 100 persen.
WHO menganjurkan penggunaan alat deteksi dini CAD. Deteksi dini penyakit TBC merupakan hal yang penting dilakukan. Bila tidak terdeteksi, orang-orang yang terkena TBC akan berpotensi melewatkan pengobatan yang berisiko hingga kematian.
“Selain itu, mereka masih bisa menularkan TBC ke orang lain. Dengan demikian, eliminasi TBC akan sulit diwujudkan,” ujarnya.
Di lain bidang teknologi, Artificial Intelligence atau AI yang terus berkembang mampu memberikan dukungan kepada banyak hal, termasuk di dunia kedokteran.
Untuk penanganan penyakit tuberkulosis atau TBC di Indonesia, teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk deteksi dini. Namun sayang hingga saat ini Indonesia belum memiliki teknologi AI untuk membaca rontgen dada.
Bahkan pemerintah Indonesia membeli teknologi ini dari luar negeri untuk melaksanakan penemuan kasus TBC secara aktif (active case finding/ACF).
“Padahal kita punya kemampuan mengembangkan teknologi itu, kita juga punya kasus yang banyak,” jelas dr. Morita pada siniar (podcast) TropmedTalk.
Pada siniar tersebut, dia menjelaskan bahwa tim yang ia pimpin tengah melakukan penelitian untuk mengembangkan perangkat lunak computer-aided detection (CAD) berbasis AI.
“Teknologi ini berguna untuk membantu membaca foto rontgen dada dalam rangka skrining TBC,” jelasnya.
TBC di Indonesia dideteksi dengan teknologi AI
Penelitian ini telah dimulai beberapa waktu lalu namun dengan dana terbatas. Kini pihaknya mendapat dukungan dana dari program KONEKSI yang diinisiasi oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia.
Kegiatan ini melibatkan peneliti dari Universitas Gadjah Mada, University of Melbourne, Monash University Indonesia, dan Universitas Sebelas Maret.
Juga ikut terlibat Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dan Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP).
Fokus penelitian ini adalah memastikan akses layanan untuk semua. “Kami juga menyasar kelompok yang rentan terkena TBC dan rentan tidak mendapatkan layanan yang baik,” jelas dr. Morita.
Kelompok tersebut meliputi perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas dan orang yang tinggal di wilayah terpencil.
Tidak dapat dipungkiri masih berlaku budaya patriarki di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini menyebabkan akses perempuan terhadap diagnosis dan layanan TBC lebih rendah dibanding laki-laki.
Adapun kelompok rentan lainnya mempunyai ketergantungan kepada orang lain untuk dapat mengakses diagnosis dan layanan TBC.
Karenanya, di dalam riset ini para peneliti berkomitmen untuk melibatkan kelompok-kelompok tersebut untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang setara dengan masyarakat umum.
Terkait upaya eliminasi TBC yang dilakukan pemerintah, dr. Morita mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan yang melakukan ACF di 25 kabupaten/kota. Angka deteksi kasus di 2024 meningkat 2-7 persen.
“Harapan kami adalah kegiatan tersebut dapat diperluas cakupannya terutama untuk menjangkau kelompok-kelompok rentan dan masyarakat di wilayah terpencil,” harap dr. Morita.
Hasil penelitian berupa teknologi yang dapat membantu tenaga kesehatan dalam membaca foto rontgen dada ini diharapkan bisa berkontribusi membantu mendeteksi TBC di Indonesia. (AGT/S-01)







