
FATHERLESS bisa terjadi karena tidak semua anak memiliki figur ayah yang baik. Peran seorang ayah sangat penting dalam perjalanan tumbuh kembang anak, terutama anak di bawah usia remaja.
Keterlibatan ayah sangat dibutuhkan dalam persiapan mental anak agar-anak bisa memiliki kondisi emosional yang stabil. Lantas, bagaimana cara anak memulihkan diri dari situasi ini dari sudut pandang psikologi?
Psikolog Diana Setiyawati dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada mengatakan figur ayah yang absen dalam keluarga cukup berdampak terhadap tumbuh kembang anak dari sisi kesehatan mental.
Anak-anak fatherles tidak sama kondisinya dengan anak-anak yatim yang ayahnya telah meninggal dunia.
Fatherless didefinisikan sebagai sosok ayah yang tidak hadir dalam hidup anak, sekalipun sang ayah masih hidup dan sehat.
Secara umum, ketidakhadiran ayah dapat mempengaruhi rasa percaya diri anak dan cara berpikir mereka, terutama mengenai diri sendiri.
“Yang paling banyak terjadi akibat absennya ayah dari keluarga adalah keraguan terhadap diri dan penghargaan diri sehingga anak-anak juga akan merasa kosong jiwanya,” ujar Diana, Senin (24/3).
Ia menyampaikan masalah fatherles dalam Safari di bulan Ramadan di Masjid Kampus UGM yang bertajuk “Memulihkan Kesehatan Mental Anak-Anak Fatherless”.
Ayah yang absen dalam kehidupan keluarga bahkan sejak dalam fase kehamilan, kata Diana akan berpengaruh terhadap calon bayi yang dikandung oleh sang ibu.
Ia menjelaskan ketika sang ibu mengalami stres, terutama akibat minimnya kontribusi ayah dalam kehamilan, hormon kortisol akan naik.
Hormon ini bersifat korosif dan berpotensi merusak sistem otak janin.“Dampaknya ialah kapasitas belajar anak berkurang karena adanya perubahan di otak bagian amigdala,” ungkap Diana.
Fatherless sebabkan anak self esteem
Selain itu hilangnya peran ayah dapat menyebabkan anak memiliki self esteem atau pengakuan harga diri yang tidak berkembang dengan baik.
Ia akan mengalami kesulitan dalam penghargaan diri dan regulasi emosi. Diana juga menyebutkan bahwa anak-anak yang kehilangan figur ayah rentan menjadi korban kekerasan seksual.
“Mereka tidak memiliki sosok yang menjadi sandaran sehingga mereka mencari rasa kasih dan sayang dari orang lain yang tidak aman dan bisa berbahaya bagi dirinya,” ujar Diana.
Menurutnya keterlibatan figur seorang ayah dalam aktivitas anak dapat menjadi kegiatan yang menstimulasi perkembangan kognitif anak, sejak baru lahir sampai anak beranjak dewasa.
“Sosok yang hadir dalam tahap ini akan membantu anak memiliki kapasitas belajar yang luas,” ungkapnya.
Selain itu, keterlibatan ayah juga berpengaruh terhadap perkembangan prefrontal cortex.
Apabila korteks ini tidak berkembang dengan baik, itu akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, dan membuat anak menjadi egosentris dan perfeksionis.
Diana kemudian berbagi tips untuk ‘mengobati’ anak yang kehilangan sosok ayahnya. Ia menyarankan untuk menjalin hubungan, baik itu keluarga, teman, maupun pasangan dengan orang-orang yang berasal dari keluarga yang aman (secure).
“Dalam hal ini, seseorang dengan emosi yang stabil dapat membantu anak fatherless dalam memperkuat resiliensi,” terangnya.
Selain itu, cinta dan kasih sayang tanpa syarat dari orang terdekat dapat menumbuhkan keyakinan dan rasa percaya diri anak fatherless.
“Mereka harus bersama orang-orang yang meyakinkan bahwa ia berharga dan layak untuk dicintai,” pungkas Diana. (AGT/S-01)