
GUBERNUR Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai, sistem pendikan nasional selama ini terjebak dalam sistem pendidikan kapitalisme. Alhasil sekolah sampai perguruan tinggi lebih sibuk dengan konsep gedung yang bagus, laboratorium yang lengkap, gaya mengajar berdasi dan life style lainnya.
“Namun kita tidak pernah mendiskusikan apakah yang diajarkan guru dan dosen itu bermanfaat atau tidak bagi pencerdasan dan pembudayaan anak didik atau memastikan bahwa pendidikan kita benar-benar mencerdaskan dan membudayakan,” kata Raja Yogyakarta tersebut dalam seminar nasional bertajuk ‘Ketahanan Sosial Sebagai Modal Dasar Menuju Indonesia Emas 2045’ yang digelar TNI Angkatan Udara di Yogyakarta, Minggu (29/9/2024).
Menurut Sri Sultan, dalam upaya mencari nilai-nilai bangsa, seharunya kita kembali menggali akar-akar budaya yang adai. Karena lanjutnya, ilmu pengetahuan dan teknologi barat sering kali exploitative dan tidak manusiawi.
Menurut Sri Sultan lagi, kita harus mulai mencari cara untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih sesuai dengan nilai-nilai lokal. Dikatakan, banyak konsep sustainable development yang sebenarnya sudah ada di kebudayaan lokal.
Warisan budaya
Sri Sultan kemudian mengungkapkan dari pendiri Kesultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah mengungkap filosofi Hamemayu Hayuning Bawana. Filosofi ini resonans dengan nulai-nilai warisan budaya dunia yang lahir dari pemikiran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I).
Filosofi ini, ujar Sri Sultan menjadi panduan hidup di mana manusia menemukan akar kemanusiaannya bersatu dengan alam dan berserah kepada Tuhan.
“Dalam filosofi Hamemayu Hayuning Bawana terkandung di dalamnya tiga kewajiban, rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa, darmaning satriya mahanani rahayuning nagara dan rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane,” katanya.
Dari ketiganya itu, lanjutnya, memberikan kewajiban kepada manusia sebagai hamengku nagara, hamengku bumi dan hamengku buwana.
Kearifan lokal
Sementara KSAU Marsekal TNI Tonny Harjono dalam sambutan tertulis yang dibacakan Komandan Kodiklatau Marsdya TNI Arif Mustofa mengatakan, bangsa Indonesia sudah lama dikenal sebagai bangsa yang kaya dengan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal.
Namun di tengah derasnya arus globalisasi kita sering dihadapkan pada pertanyaan penting bagaimana nilai-nilai luhur ini tidak tergerus tetapi terpelihara dan bahkan terus berkembang.
“Pertanyaan inilah yang membawa kita kepada tema besar Ketahanan Sosial Sebagai Modal Dasar Menuju Indonesia Emas 2045,” katanya.
Ditegaskannya, tidak mungkin membicarakan masa depan tanpa melihat ke belakang sejarah yang telah membentuk kita menjadi bangsa yang besar. Pancasila, lanjutnya merupakan simbol sekaligus refleksi dari nilai-nilai luhur yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Perlu adaptasi
TNI Angkatan Udara, imbuhnya dalam perjalanannya sebagai salah satu pilar telah melihat langsung bagaimana ketahanan budaya berperan penting dalam menjaga kedaulatan bangsa. Ketahanan budaya yang terbangun dari nilai-nilai lokal dan kearifan yang tersebar di seluruh Nusantara telah menjadi modal dasar kekuatan kita khususnya kekuatan pertahanan Indonesia. Namun perubahan zaman menuntut kita terus adaptif dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.
Seminar nasional yang digelar di sebuah hotel ini, diikuti pula para taruna dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi serta tokoh-tokoh masyarakat. (AGT/N-01)