SIKAP orang tua tidak peduli, alasan ekonomi dan kemiskinan bisa memicu munculnya kasus child sex tourism (CST) di Bali.
Hal itu hasil kesimpulan Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada.
Mereka meneliti peran pariwisata yang memicu kasus child sex tourism (CST) di Bali.Termasuk pedofilia hingga mengarah pada pelecehan anak di bawah umur.
Penelitian ini untuk menganalisa lebih dalam kasus CST mulai dari faktor korban, trauma dialami penyintas dan upaya proteksi meminimalisir kasus ini ke depannya.
Dari hasil analisa terbentuk tiga bentuk viktimisasi CST yang dialami subjek. Yaitu vitimisasi pedofil, tindak perdagangan dan penjualan orang, serta keikutsertaan anak dalam aplikasi MiChat.
Viktimisasi yang terjadi disebabkan karena pretisipasi, gaya hidup, tempat sesaat, dan kegiatan rutin.
I Ketut Aditya Prayoga dari Jurusan Pariwisata yang meneliti viktimisasi CST mengatakan bahwa anak-anak itu menjadi korban karena tidak peduli orang tua.
Adit mengatakan anak-anak diberikan handphone sedari kecil sehingga menjadi lebih bebas dalam mengakses informasi yang tidak boleh diakses mereka.
“Kita menemukan anak-anak ini dibawa ke arah seperti itu oleh orang tuanya,” terang Adit, Sabtu (28/9).
Selain itu masalah kemiskinan, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
Tidak Ada Perlindungan Hukum untuk Korban CST
Walaupun Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak namun dalam pelaksanaannya belum maksimal.
Tim PKM-RSH melihat tidak ada penegakan aturan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
“Sejatinya karena eksploitasi seks ini mungkin dalam hukum dikenal dengan istilah aduan, jadi ketika tidak ada aduan, pemerintah itu tidak akan mengetahuinya,” tambah Adit.
Peneliti lainnya Ni Luh Feby Riveranika mahasiswa Jurusan Sosiologi menambahkan terkait dampak traumatis.
Penyintas mengalami cedera serius secara fisik. Ditemukan sayatan pada kaki hingga penyakit seksual menular dan stres.
Peneliti Tim PKM-RSH CST Bali lainnya, Putu Daryanti menambahkan mereka akan melakukan sosialisasi baik di lapangan dan media sosial baik Instagram, TikTok dan X.
Mereka juga mendesak pemerintah memperkuat sinergi pentahelix untuk mencegah perdagangan anak untuk bisnis pariwisata. (AGT/S-01)