KOMODITAS cabai termasuk dalam kelompok pangan bergejolak atau volatile food. Keberadaannya terus memberikan tekanan inflasi di daerah manapun.
Bahkan di Solo Raya, inflasi cabai selalu di atas Jawa Tengah, dan sama dengan inflasi nasional. Itu sebabnya perlu terobosan baru untuk mengatasi masalah tersebut.
“Ini artinya posisi agak atas. Dari inflasi tahunan di Solo Raya (ada 6 kabupaten dan 1 kota) yang diharap berada di kisaran 2,5 persen, tapi baru pertengahan tahun, yakni sampai Juni sudah 2,5 persen,” tukas Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Solo, Bimala.
Menurut dia, terkait dengan masalah perut rakyat, pasti berimplikasi langsung pada kesejahteraan. Dan inflasi pangan bukanlah masalah ekonomi saja, tetapi juga menjadi masalah sosial dan politik.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah bersama BI perlu melakukan pengendalian, dengan menggelar program Gerakan Nasional Pengendali Inflasi Pangan (GNPIP). Di sektor pertanian cabai, BI serius melakukan pembinaan kepada kelompok tani di Solo Raya, salah satunya di Kabupaten Sragen.BI Solo telah lama menjalin kerjasama dengan petani binaan Gapoktan Guyub Rukun, Desa Jenggrik, Kecamatan Kedawung, Kabupatem Sragen untuk melakukan budidaya tanam cabai seluas 2500 m2.
“Dan saatnya, hari ini ( Rabu 3/7) dilakukan panen,” imbuh Bimala ketika mewakili BI Solo melakukan panen cabai bersama petani dan juga Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati berikut jajarannya di lahan binaan Desa Jenggrik.
Bimala mencermati, inflasi cabe terus bergerak meskipun pada komoditas lain terjadi deflasi.
“Kaitannya inflasi di Solo Raya ternyata dari cabai. Lihat saja, beras sudah enggak lagi. Tapi cabai konsisten, ngasih inflasi . Ketika komoditas lain mengalami deflasi 0,3 , cabai masih bergerak inflasi,” imbuh dia.
Faktor inflasi karena cabai cukup kencang, terutama pada bulan bulan baik mssyarakat punya hajatan. Permintaan cabai di pasar pasti melonjak tinggi, sehingga inflasi terus terkerek.
Karena itu, BI sebagai bagian dari Tim Pengendali Inflasi Daerah ( TPID) terus berkoordinasi dengan daerah, khususnya Dinas Pertanian. Dan Sragen sebagai wilayah produsen cabai cukup besar, sehingga perlu dikelola secara baik, untuk membantu pengendalian inflasi.
“Waktu itu kami ada diskusi kemudian ditanya suplai dari mana, ternyata dari sini (Jenggrik). Kemudian kita berkordinasi dengan Bu Eka Rini (Kepala Dinas Pertanian) beliau juga gercep kami melihat cocok untuk membentuk klaster binaan,” sergah Bimala.
Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati pun mengakui, daerahnya termasuk wilayah produsen cabai yang cukup besar untuk Solo Raya. Selain di tegalan, banyak lahan pekarangan rumah di pedesaan banyak ditanam cabai.
“Kedawung juga sangat bagus untuk sentra tanaman cabai. Bisa dijadikan percontohan, dan kerjasama dengan BI ini, mudah mudahan terus berlanjut,” kata Yuni.
Ia menyebut dua kecamatan yang pantas sebagai produsen cabai, yakni Karangmalang dan Sambirejo.Secara total lahan tanaman cabai di Kabupaten Sragen mencapai 500 hektar lebih dengan produktivitas sebanyak 3465 ton per petik panen.
Sementara itu pengurus Gapoktan Guyub Rukun Ngadimin, mengatakan panen cabai hasil pendampingan BI Solo di hamparan 2.500 meter persegi , cukup bagus. Cabai merah besar varietas Baja MC ini sudah empat kali petik.
“Kalau seperti ini ya petani senang. Meskipun belum maksimal, tapi bagi petani ini sudah tidak rugi, asal tidak di bawah Rp10.000 per kilogram petani sudah mendapatkan keuntungan,” ujarnya.
Dia ungkapkan, tanaman cabai seluas 1/4 hektar minimal butuh modal Rp20 juta. Jika nasib bagus harga cabai tembus Rp30.000 sampai Rp50.000 petani akan untung besar.
“Kalau harga padi kering panen sekarang Rp6.000 per kilogram lumayan bagus, tapi kalau di bawah Rp5.000 itu lebih baik tanam cabai. Kalau harga di atas Rp50.000 nasib baru bagus bisa beli motor bahkan bisa beli mobil. Kalau anjlok ya modal berantakan,” pungkas Ngadimin. (WID/N-01)