
DENGAN berangkat dari rasa prihatin atas kerusakan ekologis dan kondisi sosial warga di kawasan terpencil pesisir muara sungai Sidoarjo, Kelompok Oposisi Jalanan (KOJ) Sidoarjo mendeklarasikan aksi Save Tambak, Jumat (27/11).
Ketua KOJ Sidoarjo M Yusuf Mansyur mengatakan, kondisi tambak dan permukiman di wilayah pesisir Sidoarjo saat ini semakin mengkhawatirkan. Namun ironisnya, pemerintah daerah dinilai belum hadir secara optimal.
KOJ sendiri telah melakukan riset terkait tambak di Sidoarjo. Hasil riset internal mereka menunjukkan bahwa tambak di pesisir Sidoarjo mengalami abrasi hingga seribu hektar per tahun. Kerusakan itu disebut bersifat pasif dan terus meluas tanpa adanya data dasar pengelolaan ruang yang memadai dari pemerintah.
“Sidoarjo sampai hari ini belum punya hitungan jelas tentang okupansi daerah. Mana lahan yang untuk tambak, mana untuk persawahan, tidak ada. Ini fatal karena kerusakan ekologis terus berjalan tanpa kendali,” kata Yusuf Mansyur saat deklarasi di Desa Karanggayam Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo, Jumat (27/11)
Kesenjangan sosial
Yusuf menilai sangat ironi, di wilayah pesisir yang secara geografis dekat dengan ibu kota provinsi dan berkontribusi besar terhadap APBD. Namun kenyataan di sana, masyarakatnya masih menghadapi kesenjangan sosial serius, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga jaminan usaha.
“Petani tambak tidak memiliki perlindungan. Kesehatan mereka, jaminan usaha, bahkan inovasi untuk keberlanjutan tambak tidak pernah didampingi pemerintah. Ini identitas masyarakat Sidoarjo, tapi dibiarkan merosot,” kata Yusuf.
Abrasi bukan satu-satunya ancaman. Yusuf mengungkapkan warga di beberapa dusun terpencil seperti Kepetingan, Telocor, hingga pesisir Porong kerap mengalami banjir rob dua kali sebulan, bahkan saat tidak turun hujan.
“Bayangkan, di musim kemarau pun mereka kebanjiran dua kali sebulan. Anak sekolah, bayi yang tidur, semua terancam. Rob datang malam hari. Dan pemerintah daerah seperti tidak hadir memeluk warganya,” kata Yusuf.
Akses pendidikan
Pemukiman di kawasan tersebut dihuni sekitar 255 kepala keluarga atau 420 jiwa. Warga disebut bertahun-tahun hidup dalam keterisolasian, termasuk tanpa akses internet.
KOJ juga menyoroti akses pendidikan yang sangat terbatas. Guru yang mengajar di kawasan itu harus diantar menggunakan perahu dari pusat kota Sidoarjo, dan harus kembali sebelum pukul 11.00 karena keterbatasan transportasi.
KOJ juga menyoroti ancaman etnosida—memudarnya profesi tambak dan pertanian karena tidak menarik bagi generasi muda. Hal ini disebut dapat menghapus budaya dan kearifan lokal pesisir.
“Ini jelas tidak efektif. Pemerintah bisa menata, mengelola, bahkan menjadikan wilayah ini sebagai wisata air. Potensinya luar biasa. Tapi yang dilakukan justru menguruk tambak hingga ke dekat pantai tanpa perhitungan,” kata Mansyur
Kurang responsif
Mansyur juga menyayangkan pihak Pemkab Sidoarjo kurang responsif dengan kondisi itu. Ironisnya, Satpol PP Sidoarjo juga dinilai terlalu represif dengan mencopot banner “Save Tambak” yang dipasang di Jalan Malik Ibrahim Karanggayam Sidoarjo.
“Padahal aksi kami menginginkan agar pemerintah daerah melakukan tindakan konkret untuk masyarakat pesisir yang sering mengalami banjir rob, serta agar mereka tidak kehilangan identitas budayanya,” kata Mansyur. (OTW/N-01)







