
SETIAP malam Selasa Wage atau hari Senin Pon malam, Keraton Yogyakarta selalu menggelar tradisi Wiyosan Dalem atau memperingati hari kelahiran Sri Sultan yang sedang bertahta, yakni Sri Sultan Hamengku Bawono ke-10.
Tradisi ini berupa Uyon Uyon Hadiluhung yang menampilkan berbagai komposisi gendhing dan disajikan pula tarian. Pada Wiyosan Dalem yang diadakan Senin (19/8) malam lalu, ditampilkan pula tarian Bedhaya Tunjung Anom. Tarian gaya Yogyakarta ini merupakan karya Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang bertahta pada 1877 – 1921.
Seluruh pengunjung yang menyaksikan Uyon-Uyon Hadiluhung secara luring pun diwajibkan untuk menggunakan busana sesuai pranatan atau ketentuan yang berlaku di lingkungan keraton, yakni busana pranakan (untuk pria) dan kebaya tangkepan jangkep (untuk perempuan).
Penamaan Tunjung Anom, diambil dari nama gendhing utama yang mengiringi tarian tersebut, yaitu Gendhing Tanjung Anom. Selain disebut dengan Bedhaya Tunjung Anom, tarian ini sering pula disebut dengan Bedhaya Sigaluh.
Karena, ceritanya diambil dari Babad Sigaluh pada bab cerita Prabu Banjaransari mempersiapkan diri akan menaklukkan Ratu dari golongan jin, Dewi Suprabawati. Isi ceritanya ada yang menyebut mirip dengan isi pada Bedhaya Gandrung Manis, yang pernah pula dipentaskan dalam acara yang sama.
Bedhaya Tunjung Anom atau Bedhaya Sigaluh merupakan bedhaya yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk sang putra mahkota.
Babad Galuh
Diceritakan Setelah ayahandanya Dewi Suprabawati, Prabu Suprabagni muksa, maka Dewi Suprabawati kemudian naik tahta menggantikan ayahandanya sebagai raja di Kerajaan Galuh. Prabu Suprabagni, tidak memiliki anak laki-laki, sehingga Suprabawati lah yang harus menggantikannya sebagai raja.
Ketika Dewi Suprabawati naik tahta, maka seluruh pejabat negeri itu diganti, yang semula dijabat laki-laki, akhirnya diserahkan kepada putri-putri. Seluruh punggawa laki-laki termasuk patih yang dilorot dari jabatannya kemudian diusir dan harus meninggalkan Galuh.
Namun kemudian setelah semua pergi Dewi Suprabawati khawatir jika mereka marah, oleh karenanya itu negeri Galuh lalu dibuat siluman. Itulah yang menjadikan Dewi Suprabawati disebut dengan Ratu Jim Surabawati.
Prabu Banjaransari kemudian memerangi Ratu Jim Suprabawati meski akhirnya dapat dilerai oleh Raja Sindhula.
Dalam Babad Galuh, nama Prabu Sindhula ini disebut dengan nama Prabu Suryawisesa.
Dikisahkan, Dewi Suprabawati terpikat dengan kekuatan yang dimiliki Prabu Banjaransari. Kemudian dikisahkan mereka berdua menjadi Raja dan Permaisuri di Kerajaan Galuh.
Seperti juga bedhaya lainnya, Bedhaya Tunjung Anom ini, masing-masing penari menempati posisi sebagai Paraga Patuh, Paraga Endhel, Paraga Batak, Paraga Gulu, Oaraga Dhadha, Paraga Buntil, Paraga Apit Ngajeng dan Apit Wingking, Paraga Endhel Wedalan Ngajeng dan Endhel Wedalan Wingking serta Paraga Dhudhuk.
Komposisi gending
Sementara pada komposisi gendhing, pambuka dengan Ladrang Prabu Mataram Slendro Pathet Sanga, Soran Gendhing Narendra Sejati Laras Pelog Pathet Lima, Kendhangan Sarayuda, jangkep sadhawahipun.
Lirihan I Gendhing Lalatingkir Laras Slendro Pathet Sanga, Kendhangan Lahela/Lala, ndawah Ladrang Sri Minulya Laras Slendro Pathet Sanga.
Lirihan II Gendhing Singa Nala Laras Slendro Pathet Manyura, Kendhangan Candra, dhawah Ladrang Sekar Gadhung Laras Slendro Pathet Manyura mawi andegan, kaseling Ketawang Lebdasari Laras Slendro Pathet Manyura.
Lirihan III Bawa Swara Sekar Tengahan Mintasih Laras Pelog Pathet Barang, katampen Gendhing Muncar Laras Pelog Pathet Barang, Kendhangan Sarayuda jangkep sadhawahipun, minggah Ladrang Semu Laras Pelog Pathet Barang. Penutup Ladrang Tedhak Saking Laras Pelog Pathet Barang.
Penempatan Bedhaya Tunjung Anom, setelah selesainya gendhing Lirihan I, dilanjutkan dengan Sabda Dalem dan baru gendhing lampah Bedhaya Tunjung Anom. (AGT/W-01)