
LITERASI Pemuda Berdikari (LPB) Kota Bandung bersama ratusan mahasiswa hukum dari berbagai kampus di Bandung menolak asas Dominus Litis dimasukan ke dalam RUU KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Asas Dominus Litis sendiri merupakan asas universal yang memberikan kewenangan kepada jaksa atau kejaksaan untuk mengendalikan perkara pidana.
Asas tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021.
Isu itu kembali mencuat setelah adanya penolakan dari berbagai elemen seperti pakar hukum, mahasiswa sampai para aktivis. Penolakan juga digaungkan di berbagai wilayah di Indonesia melalui berbagai diskusi ilmiah.
Salah satunya dilakukan LPB Kota Bandung bersama pakar hukum dan ratusan mahasiswa hukum di Kota Bandung. Deklarasi penolakan tersebut dilakukan dalam acara Seminar Nasional LPB di Bandung pada Minggu (23/2).
“Karena polemik ini, kawan-kawan aktivis di daerah-daerah provinsi lain sudah dibuat seminarnya, sudah dikaji dan di Jabar, LPB kita mengkaji diskusi nasional tentang kontroversi yang akan disahkannya RUU KUHAP yang diduga ada salah satu lembaga hukum di dalam 94 halaman RKUHP,” papar Ketua LPB Kota Bandung, Indrajidt Rai Baribaldi.
Super power
Menurut Indrajidt, LPB menilai bahwa Asas Dominus Litis akan membuat kejaksaan menjadi super power dan bisa mengendalikan perkara pidana. Hal itu dianggap akan menimbulkan indikasi kesewenang-wenangan, arogansi dan ketidakharmonisan antar lembaga hukum. Rancangan hukum acara pidana di 94 halaman itu ada beberapa pasal yang diduga akan ada salah satu lembaga hukum yang menjadi lembaga yang super power.
“Kami duga di dalam pasal 12, salah satunya contoh bahwa lembaga kejaksaan itu akan menjadi lembaga yang super power. Jika kejaksaan memiliki kewenangan yang sangat super power, ini ada indikasi kesewenang-wenangan, ada indikasi arogansi, ada indikasi etika antar lembaga harmonisasi tidak jalan antar penegak hukum. Banyak peran-peran yang diambil alih oleh salah satu lembaga hukum,” tegas Indrajidt.
Terus mengawal
Hal ini lanjut Indrajidt, akan menjadi sorotan karena nantinya kejaksaan akan memiliki wewenang untuk menentukan peradilan serta mengambil alih
fungsi penegak hukum lainnya. Aspek ini dinilai sebagai elemen penting untuk menjaga keseimbangan antara hak tersangka, kepentingan korban dan kepastian hukum. Maka dari itu LPB mengundang doktor ilmu hukum dan aktivisi dalam hal aliansi mahasiswa.
LPB akan mengawal rancangan kitab undang-undang hukum acara pidana ini dan jangan sampai ada lembaga hukum
yang super power melebihi kewenangannya dari institusi yang lain, harus rata.
“Sebagai langkah konkrit pengawalan, LPB Kota Bandung akan mengirimkannsurat kepada Komisi III DPR RI, untuk melakukan audiensi mencegah masuknya asas Dominus Litis masuk ke dalam RUU KUHAP. Insya Allah, kami teman-teman aliansi mahasiswa literasi Pemuda Berdikari, mohon dukungan dari teman-teman pers, kita akan bersurat kepada DPR RI Komisi III,” tutur Indrajidt.
Dukung penuh
Sementara itu Pakar Hukum Indonesia, Dr. Said Aksinudin yang hadir dalam seminar tersebut, mendukung penuh langkah yang diambil oleh LPB Kota Bandung. Hal itu menjadi langkah konkrit untuk mengkritisi asas Dominus Litis dalam RUU KUHAP yang berpotensi membuat salah satu lembaga hukum menjadi super power.
“Saya menyambut baik upaya LPB mengadakan seminar ini untuk suatu diskusi dan suatu masukan untuk para penegak hukum dan mahasiswa untuk mengkritisi setiap aturan yang ada, yang kebetulan tadi dibahas mengenai rancangan undang-undang hukum acara pidana tentang mengenai kekuasaan yang super body dari pihak kejaksaan,” terang Said.
Tumpang tindih
Said mengungkapkan, secara akademis asas Dominus Litis dalam RUU KUHAP akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan hukum di Indonesia. Sehingga hal itu harus dikritisi oleh semua elemen termasuk para aktivis, mahasiswa dan masyarakat. Jadi jangan sampai terjadinya tumpang tindih mengenai kewenangan yang ada di kita. Kewenangan polisi, kewenangan kejaksaan, sudah saja, tupoksinya sudah ada.
“Jadi jangan sampai terjadi bukannya hanya konsisten sekarang penegakan, malah terjadi sekarang malah terjadi kewenangan. Oleh karena itu, sekali lagi, sudah ke yang ada, tapi ini masyarakat mengkritisi supaya juga untuk didengar, untuk pemangku kekuasaan yang ketok palu mengenai masalah undang-undang,” sambung Said. (Rava/M-01)