
PEMERINTAH seharusnya tidak perlu lagi membuka lahan baru dengan merusak hutan namun dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan di hutan yang sudah tidak produktif atau terdegradasi.
Apalagi pemerintah sudah berkomitmen menurunkan karbon emisi hingga kurang dari 198,27 juta ton pada 2025. Hal itu diungkapkan Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Widyanto Dwi Nugroho, S.Hut., M.Agr.Sc. dalam sebuah forum diskusi di kampus setempat, Sabtu (18/1).
Menurutnya, pembukaan lahan akan lebih tepat dengan memanfaatkan hutan degradasi menjadi produktif dan bisa bermanfaat untuk segi pangan dan lingkungan.
“Program proyek pangan yang dicanangkan pemerintah sekarang ini sejatinya sudah terjadi sejak zaman penjajahan sehingga sangat berpeluang menciptakan kerentanan traumatik,” tegasnya.
Harapan palsu
Pembukaan lahan selalu tidak hanya berdampak pada keseimbangan alam tetapi juga keadaan sosial pada masyarakat yang terdampak. Karena masyarakat dan penduduk asli yang hidup di sekitar hutan kerap diberi janji-janji dan harapan palsu oleh pemerintah.
“Berbagai macam cara digunakan untuk mendapatkan tanah yang ada di sana. Pada akhirnya hanya menyebabkan konflik internal dalam masyarakat dikarenakan politik penguasaan tanah,” ujarnya.
Tanah mereka diambil namun kesejahteraan tidak mereka dapatkan. Untuk menghindari potensi konflik dengan masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal disekitar hutan, imbuh Antropolog UGM, Dr. Laksmi Adriani Savitri. Karena itu pemerintah diharapkan untuk meninjau ulang rencana pembukaan hutan seluas 20 juta hektar.
“Masyarakat kita ingin diajak duduk dan bicara secara setara,” ungkapnya.
Buka lahan pangan
Sebelumnya terbetik rencana pemerintah berencana membuka lahan pangan seluas kurang lebih 20 juta hektare. Hal ini dilontarkan oleh Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, usai bertemu Presiden Prabowo Subianto.
Wacana tersebut menimbulkan berbagai beragam reaksi dari masyarakat. Para pakar di UGM sepakat menyampaikan rekomendasi bahwa hingga saat ini belum ada urgensi bagi pemerintah untuk membuka lahan baru secara besar-besaran. Meski kebijakan tersebut bertujuan untuk membuka ketersediaan sumber pangan.
Sebaliknya, mereka meminta pemerintah untuk memperbaiki sistem pertanian yang ada saat ini yang dinilai belum belum optimal.
Tidak efisien
Pemerhati kebijakan sosial ekonomi pertanian, Prof. Subejo, menyebutkan banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produksi pangan yang terganggu karena tidak efisiennya penggunaan pupuk, peralatan pertanian masih terbatas, hingga masih minimnya irigasi pertanian.
Dikatakan kondisi sektor pertanian dihadapkan pada persoalan rata-rata petani yang semakin menua dan tidak banyak anak muda yang tertarik dan berminat menjadi petani.
“Tugas yang harus dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat Indonesia usia muda untuk masuk ke dunia pertanian untuk regenerasi,” paparnya.
Tidak hanya itu, kata Subejo, tingkat kompetensi SDM petani masih rendah dikarenakan sebagian besar pendidikan petani rata-rata hanya lulusan sekolah dasar.
“Semua faktor tersebut perlu diperbaiki dan dikelola dengan baik akan sangat berpengaruh pada ketahanan pangan Indonesia ke depan,” ungkapnya.
Kelapa sawit
Soal kebijakan untuk melakukan alih fungsi lahan sebanyak 20 juta hektare yang direncanakan untuk sumber energi juga dinilai belum perlu untuk diimplementasikan.
Pasalnya kebutuhan akan energi berbahan dasar kelapa sawit atau bioetanol masih bisa dicukupi dengan jumlah hutan sawit yang ada saat ini.
Di samping itu, pembukaan lahan hutan juga memiliki banyak efek samping yang akan dirasakan yang mana sesuai dalam rencana pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan keseimbangan keragaman hayati dan ketersediaan pangan. (AGT/N-01)