
DUTA Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Yunani, Dr. Bebeb Abdul Kurnia Nugraha Djundjunan mengatakan bahwa perbatasan bukan sekadar persoalan teknis pemetaan, tetapi juga berkaitan erat dengan aspek hukum, diplomasi, dan geopolitik.
Hal itu dikatakannya saat memberikan kuliah tamu bertajuk ‘Manajemen Perbatasan: Strategi dan Teknik Negosiasi Penetapan Batas Maritim’ di Program Studi Magister Teknik Geomatika, Departemen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Menurutnya tantangan utama dalam negosiasi adalah perbedaan klaim, kepentingan ekonomi, serta dinamika politik yang mempengaruhi proses diplomasi antarnegara. Oleh karena itu, dalam proses penetapan batas maritim memerlukan peran ahli geodesi dan geomatika sangat besar. Bahkan di setiap perundingan, harus selalu ada tim teknis yang mendukung negosiasi dengan data akurat dan analisis geospasial.
Berbagi pengalaman
Ia pun berbagi pengalaman dalam negosiasi internasional terkait batas maritim Indonesia. Materi ini menjadi sangat relevan mengingat letak geografis negara Indonesia yang berbatasan dengan banyak negara, yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia.
“Meskipun beberapa batas telah disepakati, masih banyak segmen batas maritim yang belum terselesaikan hingga saat ini,” kata Bebeb Djundjunan dalam keterangan yang dikirim ke wartawan, Jumat (14/3).
Bebeb yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Delegasi Teknis Indonesia dalam Perundingan Batas Maritim Periode 2016–2022, menuturkan dalam setiap perundingan, harus selalu ada tim teknis yang mendukung negosiasi dengan data akurat dan analisis geospasial.
Ia mencontohkan, Dr. I Made Andi Arsana selaku pakar dari Teknik Geomatika UGM juga terlibat sebagai kelompok pakar dalam tim teknis.
“Keberadaan para ahli geospasial memastikan bahwa batas yang dinegosiasikan didasarkan pada perhitungan yang objektif dan sesuai dengan kaidah hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut,” tambahnya.
Berbagai disiplin ilmu
Dubes Bebeb mengharapkan kerja sama yang erat antara berbagai disiplin ilmu dan institusi untuk dapat mengkaji soal perbatasan ini secara lebih mendalam. Hasil kajian dari akademisi diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah sehingga tim negosiasi menjadi semakin kuat dan mampu memperjuangkan kepentingan maritim Indonesia secara optimal.
Menjawab pertanyaan mahasiswa soal strategi yang digunakan Indonesia dalam menghadapi negosiasi sulit, terutama ketika berhadapan dengan negara yang memiliki posisi lebih kuat dalam perundingan.
Bebeb menjawab diperlukan strategi dalam membentuk dan mengelola tim negosiasi nasional agar lebih solid dan efektif dalam mencapai kesepakatan terbaik bagi Indonesia.
“Pendekatan diplomasi yang berbasis data geospasial dan pemahaman hukum internasional yang mendalam menjadi kunci dalam mempertahankan kepentingan nasional,” ujarnya.
Beri wawasan
Ketua Departemen Teknik Geodesi UGM, Prof. Ir. Trias Aditya K.M., S.T., M.Sc., Ph.D., menuturkan kuliah tamu yang disampaikan Dubes Bebeb Djundjunan ini tidak hanya memberikan wawasan yang lebih dalam bagi mahasiswa mengenai bagaimana batas maritim dikelola dan dinegosiasikan, tetapi juga memperkuat kolaborasi antara dunia akademik dan praktisi diplomasi dalam membangun pemahaman yang lebih komprehensif tentang hukum dan geopolitik perbatasan Indonesia. (AGT/N-01)