
SIDANG kasus perundungan dan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang telah dimulai di Pengadilan Negeri Semarang pada Senin, 26 Mei 2025.
Tiga terdakwa dalam kasus ini adalah dr. Taufik Eko Nugroho (mantan Kepala Program Studi), Sri Maryani (staf administrasi), dan Zara Yupita Azra (senior PPDS angkatan 76) .
Berikut fakta-fakta terungkap di persidangan:
Tuduhan Pemerasan dan Pungutan Liar
Jaksa Penuntut Umum mengungkap bahwa terdakwa memaksa mahasiswa PPDS membayar iuran tidak resmi hingga Rp80 juta per orang, yang disebut sebagai Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Dana ini digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk ujian, konferensi, dan publikasi ilmiah. Total pungutan liar yang terkumpul dari 2018 hingga 2023 mencapai Rp2,49 miliar.
Doktrin ‘Pasal Anestesi’ dan Intimidasi
Dalam sidang terungkap adanya doktrin internal yang disebut ‘Pasal Anestesi’, yang menekankan hierarki ketat antara senior dan junior. Tujuh pasal tersebut mengharuskan junior untuk selalu mematuhi senior tanpa bantahan, dengan pernyataan seperti “senior selalu benar” dan “jika masih mengeluh, siapa suruh masuk anestesi”
Dugaan Penyalahgunaan Dana
Dana yang dikumpulkan dari mahasiswa junior diduga digunakan untuk membayar jasa joki dalam mengerjakan tugas-tugas senior, dengan nilai mencapai Rp88 juta. Selain itu, dana tersebut juga digunakan untuk konsumsi dan kebutuhan pribadi senior yang tidak terkait langsung dengan pendidikan .
Dampak Tragis
Kasus ini mencuat setelah meninggalnya dr. Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS angkatan 77, yang diduga akibat tekanan dan perundungan yang dialaminya. Ia juga diketahui mengumpulkan dana iuran dari rekan-rekannya sebesar Rp864 juta pada tahun 2022 .
Kementerian Kesehatan telah membekukan sementara program PPDS Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi Semarang. Sidang PPDS Undip lanjutan akan digelar untuk mendalami kasus ini lebih lanjut. (*/S-01)







