
TIM penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo menahan lima tersangka baru kasus dugaan korupsi pemanfaatan uang kompensasi dari pihak ketiga senilai Rp3,6 miliar.
Dari ketiga tersangka itu, dua di antaranya masih berstatus sebagai perangkat desa. Sementara tiga lainnya berstatus sebagai Ketua RW di Desa Entalsewu, Kecamatan Buduran, Sidoarjo.
Mereka adalah M (Mashuri) selaku Ketua RW 01 dan masih bekerja sebagai PNS pada Dinas Perikanan Pemkab Sidoarjo. Selanjutnya RI (Rois Irwanto) selaku Ketua RW 02 Desa Entalsewu 2019 sampai 2024.
Tersangka ketiga YDS (Yudi Dwi Santoso) warga eks gogol yang saat ini bekerja sebagai PNS di Satuan Polisi Pamong Praja Pemkab Sidoarjo. Selanjutnya AHP (Abdul Rohman Wahid) selaku Bendahara Desa (Kaur Keuangan) Desa Entalsewu yang sekaligus sebagai warga eks gogol. Tersangka terakhir AHP (Ageng Heru P) selaku Sekretaris Desa (Sekdes) Entalsewu yang juga warga eks gogol.
Diperiksa seharian
Kelima tersangka diperiksa pada Selasa kemarin (9/12) hingga malam hari. Usai diperiksa selama hampir seharian penuh, kelima tersangka itu langsung dibantar ke ruang tahanan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Berdasarkan data yang ada, empat tersangka yakni M, RI, YDS dan ARW yang langsung ditahan. Sementara tersangka AHP menjalani status sebagai tahanan kota dengan alasan kesehatan.
Dalam kasus dugaan korupsi perkara itu, tim penyidik menjelaskan, ada dana bantuan CSR dari pihak ketiga PT Cahaya Fajar Abaditama (pengembang proyek perumahan elit Citra Garden) senilai Rp3,6 miliar pada 2022 lalu. Namun Pemerintah Desa Entalsewu tidak memasukkan uang tersebut ke dalam APBDes Emtalsewu, Kecamatan Buduran, Sidoarjo.
Langgar mekanisme
Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo Franky Yanafia Ariandi mengatakan, penyimpangan dana kompensasi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Praktik itu melanggar seluruh mekanisme resmi pengelolaan keuangan desa dan APBDes.
“Seluruh dana kompensasi sebesar Rp3,6 miliar yang diterima Desa Entalsewu dari pihak ketiga tahun 2022 tidak pernah dibukukan di dalam APBDes. Kasus ini melanggar hukum dan menunjukkan adanya kesengajaan untuk menyembunyikan aliran dana itu,” kata Franky Yanafia Ariandi saat dikonfirmasi Kamis malam (11/12).
Menurut Franky, berdasarkan hasil temuan penyidik, dana sebesar Rp2,087 miliar justru dibagikan ke pihak-pihak tertentu. Penggunaannya juga tanpa dasar hukum yang jelas. Bahkan, alokasi yang dianggap janggal itu meliputi pembagian kepada warga eks gogol, ketua RT, pembangunan tempat ibadah, pembangunan jalan hingga kegiatan pengurukan makam di Dusun Pendopo Desa Entalsewu.
“Beberapa kegiatan yang dibiayai dana kompensasi itu tidak pernah melalui keputusan resmi musyawarah desa. Selain itu, kami menemukan dana sebesar Rp601 juta yang dipakai untuk kepentingan pribadi beberapa pihak yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi uang kompensasi pihak ketiga itu,” kata Franky.
Masuk kas desa
Selain pembagian dana yang tak bisa dipertanggungjawabkan, penyidik juga menemukan sisa dana sebesar Rp919 juta, kemudian dimasukkan ke rekening kas desa secara diam-diam. Dana itu disimpan tanpa musyawarah dan pencatatan.
“Perbuatan ini menjadi bentuk penyimpangan. Bahkan jelas-jelas masuk kategori tindak pidana korupsi dalam pengelolaan APBDes,” ujar Franky.
Menurut Franky, kelima tersangka ini memiliki posisi dan status yang memungkinkan ikut mengatur dan mengakses aliran dana kompensasi itu. Dugaan keterlibatan aparat desa hingga pejabat ASN ini dinilai memperparah dampak korupsi dana kompensasi pihak ketiga itu. Alasannya, karena menunjukkan adanya struktur penyalahgunaan kewenangan yang terorganisir.
“Kami memastikan penyidik akan terus mengembangkan perkara ini untuk mengungkap peran pihak-pihak lain serta aliran dana yang diduga masih tersembunyi. Kami minta penggunaan dana desa harus transparan dan tidak boleh dijadikan ladang korupsi. Apalagi, kami berkomitmen menuntaskan kasus ini secara profesional. Setiap rupiah dana desa harus dipertanggungjawabkan. Tidak boleh ada kebiasaan mengelola dana publik secara gelap,” tegas Franky.
Menghambat pembangunan
Kasus ini menjadi salah satu yang terbesar di Sidoarjo dalam sektor pengelolaan keuangan desa, dengan total nilai penyimpangan mencapai Rp3,6 miliar. Tim penyidik Pidsus Kejari Sidoarjo menilai praktik korupsi ini berpotensi menghambat pembangunan serta merugikan masyarakat Desa Entalsewu.
“Begitu juga soal uang Rp2 miliar lebih yang dimanfaatkan untuk berbagai pembangunan dan dibagikan warga dan sisa dana sebesar Rp919 juga yang dimasukkan ke rekening kas desa tanpa adanya musyawarah desa dan tanpa proses pencatatan resmi. Semua itu melanggar tata kelola keuangan desa. Kasus ini termasuk tindakan penyimpangan yang masuk dalam tindak pidana korupsi pada pengelolaan APBDes. Perbuatan itu, menyebabkan kerugian keuangan desa,” kata Franky.
Dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi ini, tim penyidik Pidsus Kejari Sidoarjo sudah menetapkan dan menahan Kades Entalsewu, Sukriwanto dan Ketua BPD, Asrudin. Keduanya ditahan pada 21 Juli Tahun 2025 lalu.
Kasus dugaan korupsi ini mencuat berawal pada 2022 lalu saat Desa Entalsewu melakukan pelepasan tanah gogol ke pengembang perumahan Citra Garden, PT Cahaya Fajar Abaditama. Dalam pembelian tanah itu, PT Cahaya Fajar Abaditama memberikan dana bantuan ke Pemdes Entalsewu sebesar Rp3,6 miliar. (OTW/N-01)









