
TEATER Minatani Pati, Jawa Tengah kembali menggelar pementasan ke-17.
Rentang waktu yang tidak bisa dipandang singkat untuk daya tahan sebuah grup teater. Apalagi di daerah seperti Pati, Jawa Tengah, yang minim daya dukung untuk aktualisasi akhir, sehingga memaksa menghelat proses bersama dan memilih kota lain sebagai tempat menggelarnya.
Pilihan kota pertama adalah Kudus, yang secara ekosistem dan dinamika pertumbuhan teater, lebih terjaga ketimbang Pati. Maka pada Rabu malam 3 Desember 2025, bertempat di auditorium Universitas Muria Kudus, Martir dipertontonkan pertama di khalayak.
Penonton tidak lagi berjarak
Kali ini sutradara Yudi Dodok, dengan menggunakan pendekatan Agusto Boal, dimana penonton tidak lagi berjarak dengan aktor. Bahkan dimungkinkan terjadi interaksi. Pilihan seting panggung yang floor dan tanpa skat penonton menjadi pilihan tepat mengaktualisasikan ide dasar itu.
Kesan pertama memasuki ruang pertunjukan, layaknya seperti ada di arena pasar malam. Kendatipun pihak Dodok dkk mengkonsep ini adalah galeri pemajangan karya rupa.
Ada beberapa kolabolator dari seni rupa yaitu Ellisa, dan Hari yang karyanya terpajang. Beberapa drawing menempel pada panel bambu yang menyerupai instalasi itu. Manekin- manekin dengan mulut ditutup lakban ada pada bagian lantai bawah. Seolah jadi bagian simbolik suara yang terbungkam.
Hasil tata panggung dan seting oleh Mondol dan Haykal . Ini semua mengundang rasa penasaran sebagian penonton untuk mendekat dan mencermati.
Bangun ruang komunikatif
Pada bagian lain, terdapat lembaran kertas yang sengaja dijadikan ruang publik opini tentang apa itu kebebasan. Dan ini menjadi ruang komunikatif yang berusaha dibangun oleh Teater Minatani malam itu.
Suasana semakin ramai ketika semua penonton memasuki ruang, dan ada sesosok perempuan penjual teh yang membuka lapak gerobaknya ke tengah panggung.
Siwi demikian penjual teh itu berinteraksi dengan penonton bagaimana meracik teh secara langsung dan interaksi berjalan cukup menyita waktu.
Sebelum kemudian panggung sebelah, telah hadir sesosok perempuan lain yang melontarkan teks-teks dari dialog Nyai Ontosoroh dengan beberapa dialek aksen Belanda cukup fasih diperankan oleh Sinta.
Penonton diam, lampu menyorot Sinta seolah monolog tentang tulisan karya Pramoedya itu hadir serius.
Dari Mendut hingga Samin
Bagian berikutnya adalah sosok Mendut dalam versi kekinian. Perempuan berkostum ala punk ini dimainkan Siwi Agustina, yang pernah memerankan Mendut versi klasik pada produksi sebelumnya.
Isu feminisme era lampau itu ingin digarisbawahi masih relevan dengan kondisi terkini.
Adegan berikutnya ada pada kisah Samin Surosentiko yang dituturkan oleh anak-anak baru di Teater Minatani, yang sebagian masih pelajar SMA.
Dodok selaku sutradara memang ingin bahwa kisah sejarah ini tidak lagi menjadi wacana konsumsi orang yang telah berumur di generasi dia atau sebelumnya. Bagi dia justru gen Z ini perlu juga memahami sejarah lokal.
Dodok mengungkapkan bahwa pada proses Martir ini dia memang mengambil dan menggali keterhubungan kita dengan kisah sejarah, mitos , legenda, semua berpadu menjadi serangkaian adegan utuh yaitu Martir (Resistensi Tiada Akhir).
Disela part-part serius itu, tiba-tiba lampu padam. Dua sosok muncul dengan senter, menyorot kesana kemari mencari sesuatu.
Dua orang ini–Arif dan Aloeth–semacam aktor pelalu, sebagai seniman kolabolator kehadirannya bebas membicarakan persoalan terdekat masyarakat.
“Harga cabai, harga beras , gas elpiji itu politik. Demokrasi itu pertarungan sehari hari. Demokrasi itu bukan lima tahun sekali,” kata Aloeth.
Kemudian Arif menimpali dan membacakan apa yang ditulis penonton pada bidang kertas di awal pertunjukan.
Dan ini membuat cair suasana sedikit rilek seperti menertawakan diri sendiri atas beban hidup keseharian .
Martir (Resistensi Tiada Akhir) adalah karya yang dibangun melalui re-interpretasi sejarah dan problematika Indonesia hari ini.
Estetika yang digunakan adalah Puitika Rakyat Tertindas, teknik pemanggungan teater kaum tertindas ala Augusto Boal.
Martir (Resistensi Tiada Akhir) sebagai upaya Teater Minatani melakukan kegiatan penyadaran terhadap masyarakat sehingga tahu bahwa hal-hal keseharian itu terkait dengan kekuasaan.
Respons realitas terkini
Martir (Resistensi Tiada Akhir) respons Teater Minatani atas realitas masyarakat hari ini: sensitivitas pemerintah yang rendah, etika pejabat yang buruk, dan kebijakan yang membebani rakyat.
Dihadirkan tokoh-tokoh perlawanan, Siti Manggopoh perempuan pejuang dari Tanah Minang terasa tutur yang tersaji dengan kuat dan epik.
Dan disambung dengan kisah legenda Dewata Cengkar diperankan Sigit, cukup teaterikal yang dikalahkan pendatang bersurban putih (Aji Saka?).
Dan adegan demontrasi oleh anak-anak muda atau mungkin mahasiswa seolah ingin menyambung semua cerita perlawanan pada awal-awal pementasan .
”Akan kubiarkan leherku dijerat, tetapi kakiku tidak akan berhenti melangkah dengan sehormat-hormatnya”.
Demikian Martir ditulis bersama oleh Sinta, Siwi , Dodok . Meskipun pertunjukan seakan semua menu ingin disajikan pada meja makan. Namun durasi masih belum menjenuhkan karena ada bagian-bagian pereda kebosanan dengan tampilnya part komunikatif dengan penonton.
Nah , kita tunggu pentas kedua mereka di Auditurium UIN Semarang pada Rabu 17 Desember 2025. (Putut Pasopati/W-01)







