SEKELOMPOK wanita paruh baya telah bersiap di atas mobil bak terbuka. Meski di bawah terik, mereka dengan semangat memainkan musik marawis dengan lagu-lagu religi.
Tiga meter di belakang mereka, mobil bak terbuka lainnya sudah ditumpangi rombongan anak usia 12 hingga 15 tahun. Mereka kompak berseragam islami.
Bersama anak-anak mayoritas laki-laki itu, mandura sudah ditata menyerupai piramida dengan rangka kayu yang dibalut kertas berwarna kuning.
Mandura berjumlah ratusan biji tersebut kemudian dibawa oleh rombongan warga mengitari kota menggunakan sejumlah kendaraan roda empat. Inilah awal mula pembukaan Lebaran Mandura di Kampung Baru, Palu, Sulawesi Tengah, pada Selasa (16/4).
Lebaran Mandura adalah kebiasaan yang sudah menjadi tradisi warga Kampung Baru di Kecamatan Palu Barat. Lebaran ini dirayakan mayoritas penduduk Suku Kaili (suku asli Palu) seusai perayaan Hari Raya Idul Fitri.
“Lebaran Mandura syarat aksi religi. Dimulai sepekan seusai 1 Syawal atau seminggu setelah pelaksanaan Idul Fitri 1445 hijriah dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan,” terang Ketua Adat Kampung Baru, Husein Hi Moh Saleh kepada Media Indonesia di Palu.
Menurutnya, Lebaran Mandura dilaksanakan sejak 2015 dan tahun ini sudah memasuki tahun kesembilan. “Alhamdulillah tradisi ini bisa terus dilestarikan,” ucap Husein.
Selain untuk mempererat tali persaudaraan, Lebaran Mandura juga memiliki tujuan khusus yakni sebagai bentuk perayaan kemenangan di Kampung Baru seusai menjalankan puasa sebulan penuh dan dilanjutkan puasa syawal enam hari.
“Nah, kalau di tempat lain ada Lebaran Ketupat, di Kampung Baru Palu ada Lebaran Mandura. Lebaran ini syarat akan makna,” ungkap Husein.
Dalam pelaksanaannya, Lebaran Mandura baru digelar setelah enam hari warga melaksanakan puasa syawal pasca perayaan Idul Fitri.
Husein menjelaskan, perayaannya dimulai dengan pawai mandura keliling kota di sore hari menjelang buka puasa syawal dan pawai obor di malam hari seusai Shalat Isha.
“Jadi mandura ini makanan khas Suku Kaili. Makanan ini sudah ada sejak abad ke 19,” terangnya.
Mandura yang terbuat dari beras ketan itu menjadi sajian wajib di saat acara kerajaan dahulu kala. Selain itu, mandura juga merupakan salah satu bekal warga ketika berangkat melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, Mekkah di Arab Saudi.
“Terus berjalannya wak tu, mandura lalu menjadi makanan yang juga wajib disajikan di setiap perayaan hari-hari besar keagamaan khususnya Idul Fitri dan Idul Adha,” papar Husein.
Beras ketan yang menjadi bahan dasar mandura terdiri dari tiga warna. Yakni merah, putih, dan hitam. Masing-masing warna itu memiliki makna. Warna merah memiliki manka berani menegakkan kebenaran dan mampu mengakui kesalahan.
“Dan di momen Idul Fitri diartikan untuk saling merangkul serta saling memaafkan,” ujar Husein.
Sedangkan warna putih memiliki arti suci, bersih, hati merasa ikhlas, sehingga apapun kesalahan antarmanusia secara ikhlas akan saling memaafkan. Kemudian, warna hitam sebagai simbol keadilan dan kejujuran.
Tidak sampai di situ, Husein menegaskan, bahwa mandura memiliki tiga kata yang berarti khusus.
“Man artinya manusia, Du artinya dunia serta Ra artinya fitra. Oleh karena itu makna mandura merupakan manusia yang kembali ke fitrah setelah sebulan penuh berpuasa,” imbuhnya.
Kampung baru fair
Ketua Panitia Lebaran Mandura, Akbar S H menjelaskan, Lebaran Mandura dirayakan setiap tahun. Dan tahun ini dimulai Selasa 16 April hingga Kamis 18 April. “Untuk pelaksanaannya mengikuti bulan Syawal,” katanya.
Menurut Akbar, Lebaran Mandura di Kampung Baru, tak ubahnya tradisi lebaran Ketupat di Gorontalo. Namun, yang menjadi pembeda adalah Lebaran Mandura baru bisa dilaksanakan ketika warga melaksanakan puasa syawal yang dimulai dari dua syawal sampai enam syawal.
“Setelah puasa syawal enam hari itu, kami kemudian rayakan Lebaran Mandura,” ungkapnya.
Akbar menyebutkan, untuk peserta yang terlibat dalam Lebaran Mandura tahun ini tidak hanya warga Kampung Baru, namun juga diikuti sebagian warga Palu di luar Kampung Baru.
Pasalnya, Lebaran Mandura tahun ini dikemas dengan Kampung Baru Fair. Tujuannya agar Lebaran Mandura bisa lebih dikenal lebih luas oleh warga Palu dan sekitarnya.
“Karena ada Kampung Baru Fair akhirnya Lebaran Mandura bisa dirasakan warga di luar Kampung Baru juga,” ujarnya.
Akbar memaparkan, pada Kampung Baru Fair dilaksanakan pelbagai kegiatan. Di hari pertama, pertunjukkan religi seperti musik marawis hingga tarian zapin. Hari kedua, musik dan tari-tarian tradisi. Sedangkan di hari ketiga, acara urban.
“Pada Kampung Baru Fair tahun ini juga kami melibatkan lebih banyak UMKM. Melalui kegiatan ini, UMKM diharapkan bisa mengembangkan masing-masing produk,” urainya.
Sementara pada Lebaran Mandura, lanjut Akbar, dimulai dari pawai mandura keliling kota menggunakan mobil di sore hari. Dan malamnya seusai salat Isya dilanjutkan dengan pawai obor berjalan kaki dengan menggotong mandura.
Setelah sampai mandura di lokasi acara kemudian dilakukan rebutan mandura sebagai puncak acara.
“Rebutan mandura sudah menjadi kebiasaan di setiap Lebaran Mandura. Karena di situ puncak acara dan paling seruh. Dan tahun ini kami menyiapkan 300-san mandura,” tandas Akbar.
Tugu mandura
Wakil Wali Kota Palu, Reny A Lamadjido mengaku, pemerintah yang dipimpinnya selalu mendukung Lebaran Mandura. Bukan hanya tahun ini, namun juga dari tahun awal dilaksanakan pada 2015 lalu.
“Sebagai pembuktian dua tahun lalu kami membangun tugu mandura di Kampung Baru,” tegasnya.
Reny mengapresiasi panitia penyelenggara Lebaran Mandura. Pasalnya dalam kegiatan ini, UMKM juga diberdayakan sehingga mereka bisa menjual dan
mengembangkan produknya dengan baik.
“Selain dukungan infrasruktur dan anggaran, pemerintah juga telah menjadikan Lebaran Mandura masuk dalam agenda tahunan pemerintah kota,” katanya.
Reny menilai, bahwa Lebaran Mandura adalah sebuah perayaan yang memiliki simbol kebaikan dalam menjaga silaturahmi antarsesama khususnya antarwarga di Kampung Baru.
“Tradisi ini harus terus dirawat. Generasi penerus harus menjaga agar tidak terlupakan,” pungkasnya. (TSB/M-01)