TARI Srimpi Lobong mengisahkan Dewi Srikandhi Dyah Cempalareja berperang melawan Patih Simbarmanyura Dyah Dewi Suradewati.
Dewi Srikandhi digambarkan sebagai putri yang kuat perangainya dan tegas dalam setiap perkataannya sedangkan lawannya Dewi Suradewati berparas cantik dan sakti.
Keduanya bersenjatakan jemparing atau panah dan dhuwung atau keris.
Arjuna, ksatria Pandawa yang menyaksikan peperangan di antara kedua perempuan merasa takjub dengan kesaktian keduanya.
Untuk memungkasi peperangan itu, Raden Arjuna memberikan pusaka Ardadhedali dan Kiai Ardapusara kepada Srikandhi.
Dewi Suradewati pun kemudian berhasil dikalahkan dan akhirnya diperistri Raden Arjuna serta diboyong ke Madukara.
Srimpi Lobong diciptakan oleh (Yasan Dalem) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939).
Sebutan Lobong diambil dari nama gending yang menjadi iringan utama yakni Gneding Lobong.
Catatan mengenai Srimpi Lobong dapat ditemukan dalam Serat Pasindhen Bedhaya Utawi Srimpi bernomor B/S 16 (halaman 133-142) dan Serat Kandha B/S 8 (halaman 129-133).
Kisah Serat Kandha Ringgit Purwa
Tari Srimpi Lobong yang mengambil kisah dari Serat Kandha Ringgit Purwa. Tari Srimpi Lobong memiliki kesamaan dengan Bedhaya Lobong yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921), baik dalam komposisi iringan maupun cerita.
Diawali tahun 1920, saat Gusti Pangeran Harya Puruboyo (nama kecil Sri Sultan HB VIII) sedang berlajar Belanda.
Ia diminta kembali pulang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Sri Sultan HB VII menyampaikan niat untuk lengser keprabon (turun takhta).
Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Stirum agar upaya pergantian takhta dipercepat.
Akhirnya, GPH Puruboyo pulang ke Yogyakarta dan dinobatkan sebagai sultan baru.
Sedangkan Sri Sultan Hamengku Buwono VII lereh keprabon dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarrukmo.
Lahirnya Srimpi Lobong
Belanda,pada Februari 1921 memberikan anugerah kehormatan kepada raja yang baru, Sri Sultan Hamegku Buwono VIII di Loji Karesidenan (Gedung Agung — sekarang).
Dalam upacara penganugerahan ini dihadiri antara lain Jenderal Magelang, Residen Sala, serta para pangeran.
Dansa dan bedhaya turut dipergelarkan dalam perayaan yang berlangsung hingga pukul 02.00 dini hari.
Namun pada hari lainnya, para abdi dalem Kesultanan Yogyakarta sibuk dengan persiapan cara menyambut raja yang baru.
Dari situlah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII terinspirasi untuk menciptakan syair pasindhen Srimpi Lobong.
Tari Srimpi Lobong juga tidak jauh berbeda dengan tarian Srimpi yang lainnya, kapang-kapang majeng (maju), inti cerita, dan kapang-kapang mundur.
Namun, yang menjadi ciri khas Srimpi Lobong adalah pola lantai yang didominasi erek dan tidak adanya pola lantai diagonal sebagaimana dalam tarian srimpi yang lain.
Pada Srimpi Lobong, adegan peperangan diawali dengan pamer kekuatan terlebih dahulu tidak langsung berperang sebagaimana tarian srimpi yang ada.
Peperangan diawali dengan penggunaan jemparing atau panah dan barulah kemudian menggunakan keris atau dhuwung. Adegan peperangan ini diiringi dengan Gending Lobong.
Sedangkan busana para penari, para penari Srimpi Lobong mengenakan baju rompi dan kain berpola seredan, dilengkapi hiasan jamang dan bulu-bulu di kepala seperti penari srimpi yang lain.
Pementasan 2024
Namun pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung 28 Oktober lalu di Kraton Yogyakarta keempat penari putri mengenakan busana gladhen (busana latihan) .
Yakni semekan ubed-ubed motif kusuma berlatar putih yang dipadukan dengan embong berwarna kuning.
Semengara bagian bawah mengenakan samping atau jarik pola seredan motif Prabuanom, sonder gendala giri biru tua, akserosi cincin, subang dan teleseban Praja Cihna (lambang Kesultanan) yang dipasang di sanggul uel tekuk.
Pembawa jemparing atau paraga dhudhuk, mengenakan busana sabuk wala dengan nyamping motif Larasasi latar ireng, lontong kuning dan sonder gendala giri biru tua. (AGT/S-01)