PEMERINTAH baru yang akan memimpin Imdonesia diharapkan mampu menjaga bahkan meningkatkan peran energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi.
Hingga saat ini belum ada kebijakan yang sepenuhnya mendukung peningkatan bauran energi primer dari EBT.
Serta kurang optimalnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan energi.
“Pemerintah juga perlu memikirkan berbagai terobosan model bisnis. Karena untuk mengakselerasi capaian target bauran energi ini dibutuhkan dana yang sangat besar,” kata Dosen Teknik Fisika, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Dr. Rachmawan Budiarto, Jumat (4/10).
Peneliti EBT ini menambahkan bahwa keterbatasan kemampuan keuangan negara dalam mengejar target bauran energi dan dekarbonisasi sistem energi nasional.
Menurutnya yang perlu dilakukan adalah terus membangun enabling environment.
Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi industri/swasta dalam memenuhi berbagai standar kualitas kelistrikan.
“Saya yakin, pemerintah dan industri akan membangun kemitraan yang kuat dalam meningkatkan peran EBT di bauran energi,” ujarnya.
Konsumsi listrik di Indonesia pada 2023 baru mencapai 1.337 kWh per kapita.
Angka tersebut sebenarnya sudah lebih tinggi sekitar 13% dibandingkan dengan tingkat konsumsi tahun lalu 1.173 kWh per kapita.
Dibandingkan dengan tingkat konsumsi listrik di nehara-negara ASEAN, tingkat konsumsi listrik di Indonesia ini sudah lebih tinggi dibandingkan Filipina, Kamboja, Myanmar dan Timor Leste.
Namun masih di bawah Vietnam, Thailand, Malaysia, Laos, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Selain minimnya konsumsi dari sektor industri, Rachmawan menilai pemerintah juga belum berhasil melakukan akselerasi rasio elektrifikasi (RE) hampir 100%.
Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah pelanggan rumah tangga memiliki sumber penerangan dari listrik PLN maupun nonPLN dengan jumlah rumah tangga.
RE tersebut bahkan baru berhasil memasok listrik dengan tingkat kehandalan yang belum tinggi.
Misal listrik baru bisa menyala ketika malam atau terbatas hanya selama 12 jam.
“Kondisi ini menyebabkan rendahnya konsumsi listrik per kapita,” ungkapnya.
EBT untuk Tingkatkan Konsumsi Listrik
Plt. Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM ini berpendapat perlu dilakukan peningkatan pasokan energi untuk meningkatkan konsumsi pemakaian listrik.
Pasoknya termasuk di area rural dan daerah-daerah 3T. Selain itu, program industrialisasi juga perlu ditingkatkan jika konsumsi listrik ingin naik.
Sektor industri adalah sektor yang sangat bergantung pada penggunaan energi.
“Program konservasi energi juga tetap harus dijalankan sehingga didapatkan nilai tambah yang tinggi dalam aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari konsumsi energinya,” tuturnya.
Melalui Peraturan Menteri ESDM No.26 Tahun 2021, pemerintah terus mendorong peralihan listrik konvensional ke produk hijau ramah lingkungan.
Salah satunya melalui penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Pergeseran paradigma dan perilaku konsumen terhadap keberlanjutan dan dampak lingkungan diharapkan dapat mempercepat penetrasi EBT yang potensinya tertinggi 3.295 GW.
Namun pemanfaatannya baru 0,27 GW. “Ada kecenderungan industri-industri ini berinisiatif untuk membangun PLTS atap sendiri,” ujar Rachmawan. (AGT/S-01)