INKLUSITIVAS di Indonesia sejatinya belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan kelompok disabilitas. Misalnya soal kesempatan kerja, pemenuhan hak pendidikan, pemenuhan hak akomodasi yang layak dalam berbagai bidang, ataupun
pemenuhan kebutuhan hidup secara mandiri.
Hal itu mengemuka dalam diskusi inklusivitas bertagline ‘Menuju Inklusivitas Indonesia yang Lebih Baik’ dengan sub tagline ‘Nothing about us, without us’, yang diadakan di Bandung pada Selasa (2/4). Dalam acara itu hadiri sejumlah akademisi, serta para praktisi yang konsen dalam penanganan disabilitas dan orang berkebutuhan khusus.
Di antara mereka ialah Ketua Nasional Disabilitas, Ketua BPC HIPMI Kota Cimahi dan Kepala BBPPKS Yogyakarta. Selain itu, hadir juga perwakilan dari lembaga dan komunitas disabilitas se-Indonesia antara lain Yayasan Autis Indonesia, ATC Widyatama, Yayasan Biru Indonesia, CIDCO, Bumi Disabilitas, UPTD LDPI Padang, serta Portadin.
Anne Nurfarina dari Art Therapy Center Widyatama mengatakan, dalam konteks inklusivitas ini ialah peta peran. Dalam berbagai forum hal yang berhubungan dengan inklusivitas atau kesetaraan sampai saat ini belum terjadi. Contoh kasus, ada mahasiswa desain grafis magang di industri dan dianggap baik terus terima kerja. Tapi setelah bekerja hanya diperbantukan bukan pada bidangnya.
“Dan masih ada anggapan di masyarakat yang menyatakan bahwa disabilitas atau autis itu menular. Jadi kesimpulannya dari hasil kunjungan saya ke berbagai wilayah di Indonesia, inklusivitas belum terjadi,” bebernya.
Pada kesempatan sama, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), Dante Rigmalia mengatakan bahwa secara data penyandang disabilitas di Indonesia belum terdaftar secara baik. Tugas ke depan ialah melakukan pemantauan, advokasi dan mengevaluasi. Instrumen disabilitas yang bisa terpilah, sehingga kebutuhan disabilitas bisa dipenuhi oleh semua pihak.
“Sistem administrasi negara dengan data NIK untuk pemenuhan hak disabilitas. Ada sekitar 4,3 juta penyandang disabilitas pada 2003, yang mengalami hambatan dan kita harus memberi dukungan pada disabilitas,” tuturnya.
Sedangkan latar belakang diskusi ini adalah, fakta bahwa inklusivitas di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat disabilitas. Antara lain menyoal kesempatan kerja, pemenuhan hak pendidikan, pemenuhan hak akomodasi yang layak dalam berbagai bidang, dan pemenuhan kebutuhan hidup secara mandiri.
Hal itu terjadi, salah satu penyebabnya adalah pola penyelesaian masalah masih bersifat parsial, sehingga terjadi gap antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Selain itu juga karena setiap keputusan tidak melibatkan para subjek penyandang disabilitas. Sementara, pemahaman masyarakat akan kesetaraan penyandang disabilitas masih rendah, sehingga masih sering terjadi bully dan stigma negatif dengan subjek penyandang disabilitas.
Di sisi lain, terjadi fenomena meningkatnya pergerakan advokasi terhadap subjek penyandang disabilitas dari kalangan remaja dan dewasa muda di semua wilayah Indonesia. Untuk itu, perlu adanya kesamaan suara dan pergerakan yang mengarah pada peningkatan kesadaran dan penerapan kesetaraan inklusivitas di Indonesia. (RI/MN-1)