
REKTOR Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. H. Solehuddin, membantah keras tudingan terkait tidak transparannya proses pemilihan rektor (pilrek) UPI tahun 2025.
Ia juga menepis anggapan bahwa sosok rektor yang terpilih telah ditentukan sejak awal.
“Itu informasi dari mana? Saya jamin informasi itu tidak benar,” ujar Solehuddin saat dikonfirmasi, Selasa (14/5).
Ia menegaskan bahwa proses pemilihan rektor sepenuhnya menjadi tanggung jawab Majelis Wali Amanat (MWA) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek).
“Kalau ingin benar-benar memberitakan pilrek UPI, silakan hubungi MWA atau Kemendiktisaintek,” tegasnya.
Menurut Solehuddin, sebagai rektor, dirinya tentu mendukung proses pilrek yang akuntabel dan sesuai dengan regulasi. Namun, ia menekankan bahwa ranah pelaksanaan berada di tangan MWA dan Senat Akademik (SA).
“Kalau ada pernyataan dari satu atau dua anggota SA, itu bukan mewakili lembaga. SA itu ada 50 anggota. Kalau yang bicara adalah pimpinan senat, baru itu resmi atas nama institusi,” jelasnya.
Kritik dari Anggota Senat Akademik
Sebelumnya, kritik datang dari salah satu anggota SA UPI, Prof. Amung Ma’mun, yang menyatakan bahwa proses penyaringan sembilan bakal calon menjadi tiga calon rektor dilakukan secara tertutup dan tidak sesuai dengan Peraturan MWA Nomor 1 Tahun 2025.
Amung mengacu pada Pasal 17 yang mengatur bahwa penetapan calon rektor harus berdasarkan asesmen tim independen, rekam jejak, paparan kertas kerja, dan pertimbangan SA.
“Melihat empat kriteria tadi, kami meragukan hasil penetapan tiga besar oleh MWA,” kata guru besar FPOK UPI tersebut.
Ia juga menyoroti bahwa hasil asesmen dan masukan SA tidak dipublikasikan secara terbuka.
“UPI adalah institusi publik, maka proses pemilihan rektor seharusnya juga bisa diakses publik. Transparansi itu wajib,” imbuhnya.
Potensi Gugatan ke PTUN
Senada, Prof. Edi Suryadi dari FPEB UPI juga menyampaikan kekecewaannya terhadap minimnya tindak lanjut dari MWA atas aspirasi sembilan anggota SA yang meminta revisi Peraturan MWA Nomor 1/2025.
Edi menyoroti ketidaksesuaian antara proses aktual dengan statuta UPI. Ia menyebut, setidaknya ada dua materi gugatan ke PTUN yang dapat diajukan jika calon merasa dirugikan.
Pertama, metode pemungutan suara yang bertentangan dengan statuta, dan kedua, penetapan calon rektor yang tidak mempertimbangkan parameter objektif seperti asesmen, rekam jejak, dan presentasi kertas kerja.
“Ketua MWA sempat menyatakan bahwa proses ini akan dipertanggungjawabkan bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Tapi kenyataannya jauh dari transparan,” tegas Edi.
Proses pemilihan rektor UPI kini memasuki tahap akhir dan dijadwalkan akan selesai dalam waktu dekat.
Polemik transparansi yang mencuat menjelang akhir masa jabatan Prof. Solehuddin ini memunculkan kekhawatiran atas integritas dan akuntabilitas dalam suksesi kepemimpinan di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. (Rava/S-01)