
KECAMATAN Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, memiliki jejak pemikir dan penulisan yang di kenal skala nasional. Tidak heran jika budaya literasi pun tumbuh demikian subur dari generasi ke generasi.
Wilayah pesisir utara Pati ini kental dengan nuansa Islam. Pernah lahir Serat Cebolek, juga ada makam tokoh Islam Syech Muttamakin, Ulama Kyai Abdullah Salam yang karismatik , Kyai Sahal Sahal Mahfudh, Kyai Muh Zuhri sampai Ulil Absar Abdala menjadi gambaran bahwa dunia pemikiran dan budaya literasi sudah sangat mengakar, dan akrab dengan wilayah ini.
Kemudian muncul komunitas Gandrung Sastra tumbuh secara kolektif membangun dunia dan budaya literasi dengan bersahaja. Mereka secara sederhana mencetak karya lewat media zine.
Sastra yang tumbuh di pinggir, jauh dari arus utama , namun kini wilayah telah ditembus oleh media sosial, dunia digital telah meniadakan batas-batas itu.
Ini terbukti, Kamis (20 /2/2025 ) malam di Acara Gandrung Sastra #13 telah hadir para partisipan dari berbagai kota, datang merayakan kerinduan bersama. Bukan hanya penulis dari Pati, tapi ada juga dari Demak, Jepara, Rembang.
“Kami memang ingin mendekatkan sastra dan literasi pada semua kalangan tanpa memandang profesi, suku, ras, agama. Sehingga sastra dan budaya literasi tidak berjarak dengan masyarakatnya. Beberapa event acara Gandrung Sastra dari awal sampai malam ini, kita gelar dengan kesederhanaan sebagai ruang ekspresi bersama. Kita biasa menggelar di warung, pinggir jalan, sekolah dan tempat tempat umum lainnya dan kami terbuka kepada siapa saja yang ingin melibatkan diri ,” kata Arif Khilwa sebagai koordinator acara.
Ragam Warna Negeri Berpagar
Gandrung Sastra #13 kali ini bertajuk, Ragam Warna Negeri Berpagar di gelar terlihat intim dan akrab dengan seting panggung lesehan sederhana di Jendela Kopi. Markas Gandrung Sastra yang memang sudah tertata serupa museum barang antik. Jadi terkesan vintage.
Di bawah cahaya kebiruan dengan latar belakang perkakas lawasan, para penampil satu-persatu membacakan puisi dan orasi kesenian.
Tema pembacaan cukup beragam dari bicara tentang sosial , politik, persoalan alam sampai religiuitas sufistik.
Acara Dibuka Aloeth Pati sebagai tuan rumah sekaligus pendiri Gandrung Sastra. Terungkap, sejarah awal mula Komunitas Gandrung Sastra yang berdiri 20 Oktober 2012 dari kegelisahan anak muda Margoyoso akan ruang berekspresi . Kemudian berproses bersama sampai pada ide penerbitan zine.
Bahkan pada antologi Sapa Sira Sapa Ingsun terbit tahun 2015 mencapai 71 penulis asal Pati, bahkan yang sudah berada di luar negeri ikut berpartisipasi.
Belasan Pembaca Puisi
Usai bercerita kilas balik aktivitas Gandrung Sastra, Aloeth Pati kemudian membacakan Emprit Gantil karya Asyari Muhamad yang kebetulan berhalangan hadir dengan santai diiringi musik latar suara burung emprit gantil dari ponsel, kemudian di lanjut dengan beberapa partisipan lainnya.
Amar Abdillah cukup menarik membacakan karya dua bahasa Persia danIindonesia karya Khawaja Abdullah Al Ansori, pesuluk Afganistan. Amar fasih melafalkan bahasa Persia karena pernah mengenyam pendidikan di Iran.
Kemudian acara bergulir mengalir secara maraton di kelola Nardek sebagai pembawa acara. Memandu penyaji bergiliran dari berbagai kota dan profesi, dari wartawan, kyai, santri, seniman, pedagang , guru , aktivis.
Ada belasan pembaca puisi , tidak ketinggalan aktivis kesenian Pati Imam Bucah ikut meramaikan acara, dia membawakan karya WS Rendra berjudul Paman Doblang di iringi petikan gitar Tonjahan Nda Juwana.
Arif Khilwa sebagai salah satu motor penggagas Gandrung Sastra juga matang membacakan puisinya, Malam Tak Lagi Tabu.
Obati Kerinduan dan Buletin
Arif berharap pertemuan kali ini mengobati kerinduan selama jeda vakumnya agenda Gandrung Sastra beberapa tahun belakangan.
“Buletin Gandrung Sastra #6 ini juga arsip dan produk kami agar karya teman teman partisipan terdokumentasi, berisi karya sastra puisi, cerpen dan esai. Ada 22 penulis yang terlibat, dan kami hanya menjualnya 10 ribu rupiah per eksemplar, hasil penjualan akan kami gunakan untuk bergulirnya acara semacam ini ke depan. Bahkan bulan puasa nanti sudah banyak yang menawarkan tempat untuk kita sambangi ,” imbuh Arif yang juga Ketua Lesbumi Pati itu.
Acara di akhiri dengan jagong seni, menyoal gerakan komunitas di Pati sebagai strategi kebudayaan di area pinggir yang terus bergulir dan di hidupkan dari pesisir. Kemudian, membangun ekosistem seni bahkan sampai strategi regenerasi yang acap kali tersendat di laju perubahan zaman. (Put/W-01)