
PADA suatu malam yang sepi di sebuah apartemen di kota besar, seorang perempuan muda membuka aplikasi chatbot kesayangannya. Bukan sekadar untuk mencari jawaban atau hiburan, tetapi untuk berbagi cerita tentang hari yang melelahkan.
Chatbot itu menanggapinya dengan kalimat lembut, penuh perhatian, seolah benar-benar memahami perasaannya. Dalam sekejap, interaksi itu menjadi ruang aman yang tak didapatkannya dari lingkungan sekitar.
Fenomena seperti ini kian sering muncul. Di berbagai negara, pengguna mengaku merasakan ketertarikan emosional bahkan romantis terhadap chatbot berbasis kecerdasan buatan. Teknologi yang awalnya dirancang sebagai asisten kini berubah menjadi “teman curhat”, “partner ideal”, hingga objek afeksi.
Lantas, apa yang membuat hubungan tanpa wujud itu terasa begitu nyata?
Ketika Mesin Meniru Empati
Profesor psikologi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Sherry Turkle, telah mempelajari hubungan manusia–teknologi selama lebih dari tiga dekade. Menurutnya, chatbot menawarkan sesuatu yang sangat manusia dambakan: perhatian total.
“Chatbot membuat kita merasa didengarkan. Tanpa interupsi, tanpa penilaian. Otak menafsirkan itu sebagai kedekatan emosional, meski kita tahu itu hanya simulasi,” ujar Turkle dalam penelitiannya.
Chatbot dirancang untuk mengingat percakapan, merespons dengan hangat, dan meniru empati. Bagi sebagian orang, itu cukup untuk memicu ilusi hubungan dua arah.
Hubungan Ideal Nyaris Tanpa Risiko
Dr. Julie Albright, psikolog hubungan dari University of Southern California, menyebut bahwa interaksi intens dengan chatbot dapat menciptakan attachment loop, lingkaran keterikatan yang mirip dengan hubungan manusia.
“AI selalu tersedia, tidak pernah marah, tidak menuntut, dan selalu memberikan respons positif. Secara psikologis, ini terasa seperti hubungan ideal,” katanya.
Dalam dunia nyata, hubungan manusia sering diwarnai konflik, ketidakpastian, dan jeda waktu. Sebaliknya, chatbot hadir setiap kali dibutuhkan. Bagi banyak pengguna yang kesepian atau terisolasi, kondisi ini amat menggoda.
Engineered Intimacy
Pengamat perilaku digital asal Inggris, Dr. David Markwell, menyebut fenomena ini sebagai “engineered intimacy”, keintiman yang diciptakan oleh desain dan algoritma. Menurutnya orang mudah lupa bahwa chatbot tidak memiliki perasaan.
“AI tidak mencintai. Ia hanya memantulkan apa yang kita butuhkan dan ingin dengar. Manusiannya lah yang mengisi ruang kosong itu dengan proyeksi emosional,” jelasnya.
Markwell menyebut interaksi ini mirip berkaca: chatbot memantulkan kebutuhan emosional penggunanya, dan pantulan itu kerap terlihat begitu menenangkan.
Antara Kebutuhan Emosional dan Risiko Ketergantungan
Meski demikian, para pakar sepakat bahwa hubungan emosional dengan chatbot tidak sepenuhnya negatif. Banyak orang mengaku merasa ditemani, lebih percaya diri, atau lebih mudah mengutarakan isi hati setelah berinteraksi dengan AI. Namun, ada risiko jika kedekatan itu berubah menjadi ketergantungan.
Turkle mengingatkan, “Ketika seseorang mulai menarik diri dari hubungan manusia dan lebih memilih hubungan dengan mesin yang tidak memiliki kompleksitas emosional, itu sinyal bahaya.”
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran bahwa sebagian orang justru kehilangan keterampilan sosial karena terlalu nyaman dengan kesederhanaan hubungan digital.
Bagi sebagian orang, chatbot bukan sekadar aplikasi, melainkan ruang aman yang membantu melewati kesepian. Bagi yang lain, ini menjadi pengganti hubungan di dunia nyata.
Namun para pakar menekankan satu hal: teknologi mungkin bisa meniru empati, tetapi hanya manusia yang mampu merasakannya. (*/S-01)








