BAGI anak-anak sekarang, permainan tradisional engkle mungkin sesuatu yang asing. Boleh dibilang, permainan itu sudah tergerus modernisasi. Namun di tangan tim peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung yang dipimpin oleh Dr. Taufik Ampera, engkle mampu bangkit lagi dengan wajah baru. Mereka mengembangkan Engkle Rancage untuk meningkatkan literasi bagi anak-anak.
Permainan yang dilakukan dengan cara melompat menggunakan satu kaki di atas kotak-kotak dan gunung yang telah digambar di tanah itu dimodifikasi sedemikian rupa dengan penggunaan elemen angka, huruf, maupun benda-benda yang diletakkan di dalam kotak untuk dikenalkan kepada anak.
“Engkle adalah bagian dari warisan budaya yang mengandung banyak nilai edukasi. Namun, di era digital ini, anak-anak lebih tertarik dengan
permainan berbasis teknologi. Kami merasa perlu menghidupkan kembali permainan ini dengan sentuhan inovasi agar lebih relevan,” ujar Ampera dalam Podcast HardTalk, Hasil Riset dan Diseminasi Unpad.
Nilai edukasi
Menurut Ampera penelitian ini lahir dari keprihatinan terhadap menurunnya popularitas permainan tradisional di kalangan generasi muda. Padahal, menurutnya permainan tradisional bisa lebih banyak memberikan nilai edukasi, bukan hanya sekadar nilai hiburan bagi anak.
Ia ingin membuat permainan-permainan tradisional zaman dahulu kembali populer di masa kini, tetapi dengan beberapa perubahan muatan agar lebih cocok dengan minat anak jaman sekarang.
Ampera memperkenalkan Engkle Rancage emiliki dua model modifikasi yang disesuaikan dengan kelompok usia anak. Untuk anak usia 5–6 tahun, engkle dilengkapi dengan angka dan huruf yang berfungsi merangsang kemampuan baca-tulis.
Sementara itu, untuk anak usia 7 tahun ke atas, kotak-kotak permainan didesain dengan tema-tema menarik seperti alat transportasi, hewan, hingga benda luar angkasa yang biasanya jarang dikenalkan kepada anak, tetapi mampu memberikan perhatian dan rasa tertarik bagi anak.
Dibuat interaktif
“Tidak hanya desain yang diubah, aturan permainan pun dimodifikasi agar lebih interaktif. Jika pemain gagal melempar gaco ke kotak yang ditentukan, mereka diminta mengambil kartu tantangan. Kartu-kartu tantangan tersebut berisi aktivitas kreatif seperti menyanyi, menggambar, hingga mendongeng. Tujuannya, agar anak tak hanya melatih kemampuan fisik dari bermain engkle, tetapi juga daya kreativitas, komunikasi dan kemampuan sosial,” papar Ampera.
Contohnya lanjut Ampera, jika dia mendapat kartu menyanyi saat gagal melempar gaco ke kotak bebek, maka anak harus menyanyikan lagu yang bertema bebek. Atau keterampilan bercerita, maka harus menceritakan atau mendongeng tentang bebek.
Keunggulan lain dari Engkle Rancage adalah permainan ini dapat dimainkan di dalam maupun luar ruangan, tak seperti Engkle zaman dahulu yang banyaknya hanya dimainkan di luar rumah.
“Kita tidak perlu misalnya mencari lokasi tempat seperti di lapangan atau halaman, bahkan di dalam rumah pun ini bisa dimainkan. Jadi modifikasi engkle ini sangat fleksibel,” tutur Ampera.
Perkembangan motorik
Ampera mengaku salah satu alasan utama pengembangan Engkle Rancage adalah perubahan pola bermain anak-anak di era modern. Dalam dua dekade terakhir, anak-anak sejak usia dini sudah dikenalkan dengan gawai elektronik, sehingga membuat mereka lebih sering bermain di dalam rumah karena terpaku dengan gadget.
Sementara, anak-anak saat ini dinilai sangat jarang menghabiskan waktu untuk bermain ataupun bersosialisasi dengan anak sebayanya di luar rumah. Hal ini pun disebut dapat menimbulkan dampak pada perkembangan motorik dan kemampuan bersosial mereka.
“Permainan engkle itu dapat mengembangkan motorik anak dan yang paling penting, tentu akan selalu ada interaksi sosial sesama anak. Sejatinya usia anak-anak yang masih dini tidak sepatutnya dibebani oleh tanggung jawab untuk belajar di sekolah,” ungkap Ampera.
Karena kata Ampera, pada hakikatnya dunia anak itu adalah dunia bermain, jadi secara biologis, secara psikologis, anak-anak itu masih memerlukan waktu untuk bermain di sela-sela belajar.
Disambut antusiasme
“Untuk melakukan uji coba terhadap Engkle Rancage, tim peneliti bekerja sama dengan Ikatan Guru Taman Kanak-kanak di PAUD dan TK di wilayah Karawang Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Para guru kemudian mencoba menerapkan permainan Engkle Rancage sebagai salah satu bahan ajar kepada anak di sekolah,” lanjut Ampera.
Hasilnya, Ampera mengaku para guru memberikan respons positif terhadap Engkle Rancage. Engkle Rancage juga disebut cukup efektif untuk membantu merangsang kemampuan anak usia dini agar bisa membaca dan berhitung, karena adanya penggunaan visualisasi angka, huruf, maupun benda lainnya di dalam kotak.
Cari mitra
Meskipun Engkle Rancage telah mendapat respons positif dari guru dan sekolah, permainan ini belum diproduksi secara massal. Karena tim peneliti mengaku belum menemukan mitra kerja sama untuk memproduksi permainan ini dalam skala lebih luas.
Kendati demikian, Ampera memiliki target bahwa inovasi ini tidak hanya berhenti pada permainan engkle. Ke depannya, tim peneliti berencana menggali permainan tradisional lain untuk dikembangkan menjadi media pembelajaran.
“Kami ingin memperkenalkan permainan tradisional Indonesia dalam versi yang lebih modern dan edukatif. Bahkan, ada kemungkinan untuk membuat versi internasional dengan menggunakan bahasa asing seperti Jepang atau Prancis,” sambung Ampera.
Pada akhirnya ucap Ampera, Engkle Rancage diharapkan tak hanya menjadi sebuah permainan. Melainkan, sebagai simbol upaya pelestarian budaya sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan. Terutama, dalam era di mana anak-anak lebih akrab dengan gawai dan permainan digital. (Rava/N-01)